Baca juga tulisan menarik lainnya
Pengantar :
ISLAM sebagai peradaban dibangun di atas hamparan dan bentangan teks-teks yang dihasilkan oleh para cendekiawan yang produktif menulis. Dengan dimulainya tradisi tulis-menulis di dunia Islam, dengan segenap kemampuan yang dikerahkan ulama kuno untuk berijtihad memecahkan persoalan dgn mentafsiri secara terus menerus teks primer Islam, al-Quran dan hadits, yang akhirnya menghasilkan sederetan dan setumpuk kitab-kitab karya, maka dimulailah babak baru di mana Islam memasuki proses akselerasi peradaban dan sekaligus dianggap sebagai peradaban tersendiri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya-karya tulis ulama Islam kuno (yang kemudian dikatakan sebagai Kitab Kuning) pada mulanya dibentuk oleh peradaban tertentu dengan tingkat ijtihad yang cukup maksimal dan tradisi tertentu dan akhirnya setelah menjadi korpus maka ia membentuk peradaban sendiri (tasykil wa at-tasayakkul). Salah satunya adalah santri-santri di pesantren yang dibentuk oleh Kitab Kuning, yang telah membentuk peradabannya sendiri. Dan pada akhirnya setelah Kitab Kuning membentuk peradaban pesantren, kemudian berakumulasi dengan local wisdom (kearifan lokal) dan realitas sosial yang ada, yang akhirnya membentuk satu karakteristik yang khas dan genuin.
Karakteristik itu akhirnya ditransformasikan ke dalam konteks nasional dan diterjemahkan dalam konteks kebangsaan. Tradisi menulis, pada masa ‘ashr at-tadwin (masa kodivikasi), disiplin-disiplin ilmu keislaman tercatat dalam sejarah sebagai awal mula dirumuskan secara tertulis segenap konsep-konsep dari berbagai macam dimensi Islam, seperti konsep teologi (tauhid), ushul fikih, fikih, tafsir al-Quran, ilmu hadits dan kodivikasi kumpulan hadits-hadits, tasawuf, mantik, gramatika Arab (Nahwu dan sharf) dan sejarah—masih banyak lagi sebentulnya disiplin ilmu yang lainnya yang tidak dicantumkan di sini.
Perkembangan selanjutnya, tradisi menulis melalui proses dialektika dan dinamisasi internal terjadi kristalisasi dan akhirnya mendapatkan bentuk sistem penulisan yang kemudian dijadikan standar bagi para penulis. Standar penulisan itu cukup berlaku pada zamannya. Atau relevan bagi zamannya.
Naskah-naskah klasik (kitab kuning/turats) warisan ulama salaf as-shalih telah ditulis dengan mengikuti aturan-aturan standar dan tipologi penulisan pada zamannya. Dan kita yang hidup sekarang bisa mengetahui dengan jelas dan bisa mengakses dengan mudah karya-karya para ulama salaf as-shalih itu, serta kita mengetahui pola penulisannya. Sekurang-kurangnya bisa kita coba bagikan ke dalam dua bagian besar, yaitu pola penulisan dan pola penjabarannya, yang akan kita jelaskan di bawah. Akan tetapi, ada komunitas umat Islam dan generasi ulama penerusnya, nun jauh dari Arab, yaitu di Indonesia, yang masih berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam karya-karya ulama salaf as-shalih dan bahkan mereka (ulama Indonesia) mampu mengembangkan sistem nilai dan mengembangkan pola penulisan ala ulama salaf as-shalih menjadi varian dan tipologi yang cukup kaya. Namun KK yang mengandung nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan yang terdapat di beberapa disiplin ilmu, yaitu tafsir al-Quran, ilmu tasawuf, fikih, kaidah fikih, ushul fikih, ilmu kalam, dan sejarah Nabi (tarikh). Sedangkan teks sentralnya adalah al-Quran dan al- hadits. Sementara diluar teks, adalah local wisdom. Adapun disiplin ilmu yang lain, seperti nahwu, sharf, mantiq, balaghah, dan dll adalah ilmu alat.
Kajian Teks Kitab Kuning
Kitab kuning (KK) sejatinya adalah interpretasi dan hasil ijtihan para ulama atas segenap ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Pada perkembangannya, KK diajarkan di pesantren-pesantren salaf-tradisional sekaligus dijadikan sebagai pedoman doktrin yang dianggap kebenarannya.
Berawal dari sebuah kesadaran bahwa tidak semua orang atau pada umumnya tidak memiliki kemampuan mengakses langsung dan menggali al-Quran, sebagai sumber segala nilai kebajikan bagi umat Islam, dan hadits, sehingga harus menggali dari kitab kuning yang menjadi representasi penjelasan atas nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam al-Quran dan hadits. Sebab ayat-ayat al-Quran dan sabda nabi yang ada di hadits masih bersifat gelobal, ambigu, dan susah tertangkap basah maknanya. Disamping itu, al-Quran dan hadits yang menggunakan bahasa Arab itu, mengandung nilai lokal dan universalnya sekaligus, yang tidak mudah untuk didenahkan. Diperlukan kemampuan tersendiri dalam menggalinya. Di antara kemampuan atau kompetensi yang harus dimiliki cukup ketat, seperti harus mengerti logika bahasa Arab, sejarah Arab pra-Islam, kultur budayanya, dan sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Quran dan konteks hadits-hadits nabi. Jika memiliki kompetensi tersebut maka seseorang akan dapat menganalisa, istinbath, dan mendenahkan wilayah nilai lokalitas Arabisme dan nilai universalitas Islam yang ada di dalamnya. Seringkali seseorang tidak dapat memilah-milah keduanya, yang berakibat pencampuradukan antara nilai lokal dan universal. Ada bias budaya Arab. KK yang merupakan kekayaan khazanah Islam klasik diposisikan sebagai cetak biru Islam disebabkan mengandung nilai-nilai yang baik dijadikan pedoman. Sebab KK sudah seperti “makanan instans” yang siap saji. Lantaran KK merupakan produk pemikiran ulama klasik yang dihasilkan dari pergulatan panjang ijtihadinya terhadap segenap ayat-ayat al-Quran, hadits, dan peradaban yang mengitarinya.
Sebagai produk yang siap saji, KK mengandung berbagai menu yang cukup fariatip, yang dapat bagi para konsumennya menikmati selaras dengan kecenderungan dan seleranya. Atau mengkonsumsinya sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi tertentu. Sebab, KK mengandung beragam pendapat ulama. Bahkan satu persoalan mengandung tiga, empat, atau bahkan lima pendapat ulama yang berbeda-beda. Di internal madzhab saja telah terdapat warna-warni pendapat, apalagi kalau melintasi antar madzhab.
Seperti kita tahu bahwa di internal madzhab as-Syafii terdapat beberapa imam madzhab, semisal Imam An-Nawawi, ar-Rafii, Ibnu mHajar al-Haytami, Ar-Ramli, Zakariya al-Anshari, dll., yang semuanya sering kali berbeda pendapat dalam menyikapi dan menjawab persoalan.
Para kyai dan santri—khususnya santri senior—seringkali menggali hukum dan menyikapi persoalan dengan mempertimbangkan kemajemukan dan warna-warninya pendapat para ulama yang cukup kaya itu. Dan pada saat menentukan pendapat mana yang layak diambil dan diadopsi, mereka memiliki pertimbangan sendiri. Di antara yang menjadi pertimbangan dalam memilih pendapat adalah sebuah situasi, kondisi, dan pengalaman riil di lapangan serta kemaslahatan bagi manusia. Sehingga di sini ada proses dialektika antara teks KK, pembaca (kyai dan santri), dan realita sosial yang mengitari sang pembaca.
Di satu sisi para kyai dan santri patuh terhadap teks KK, pada saat yang bersamaan mereka (kyai dan santri) melibatkan realita dalam mentafsiri teks sekaligus untuk mensortir pendapat mana yang relevan dan maslahat bagi nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan kedamaian. Bahkan, jika dalam sekian banyak pendapat yang ada di dalam internal madzhab, seperti as-Syafii, yang tidak maslahat bagi realita sosial, maka dapat melirik pendapat madzhab lain, seperti Maliki, Hanafi dan Hambali. Sebab, bagi pesantren, selama tidak keluar dari empat madzhab, maka diperbolehkan mengambil salah satu pendapat dari empat madzhab itu. Lantaran dalam Qanun Asasi Ahlissunnah Waljamaah yang ditetapkan oleh KH Hasyim Asy’ari dinyatakan bahwa boleh mengikuti salah satu dari empat madzhab.
Mekanisme Penggalian Nilai-Nilai Kebangsaan yang ada Di Kitab Kuning Ada sekian mekanisme penggalian nilai-nilai yang ada di dalam KK yang dilakukan oleh kyai dan santri di Pesantren.
Di antaranya,
1).Musyawarah kitab kuning (KK). Biasanya KK yang diajarkan di madrasah atau di pesantren, dikaji secara mendalam bersama-sama dan dilebarkan wacananya dengan diperkaya melalui KK yang memadai dan cukup panjang lebar penjelasannya. Di sini ada perluasan wilayah KK, bukan hanya KK yang dijadikan kurikulum, tapi juga KK yang dijadikan rujukan dalam memperluas cakrawala pengetahuan Islam.
2). Musyawarah Bahtsul Masail (BM). Musyawarah BM merupakan forum penggalian nilai-nilai luhur yang ada di dalam KK (kitab kuning) dengan melalui sebuah respons terhadap segenap persoalan kontemporer atau kekinian. BM seringkali diposisikan sebagai penjawab atas realitas; realitas bertanya KK menjawab. Di sini kita merasakan ada semacam dialektika antara KK dan realita dalam ring BM.
BM adalah semacam forum ijtihad kolektif. Pesertanya pun dari berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda. BM sering diadakan antar pesantren, yang sudah barang tentu dari sekian pesantren tidak sama dalam aspek kognisi, kecenderungan dan menyikapinya.
BM Memiliki aturan dan caranya sendiri.
Formasinya di antaranya
1. Moderator;
2. Tim perumus;
3. Tim pentashih;
4. Para peserta atau audiens (musyawirin atau bahitsin).
Meski ada format demikian, semua pihak dituntut untuk proaktif, terjadi penggodokan dan menggalian secara bersama-sama dalam menentukan satu rumusan hukum dan nilai yang digali secara bersama-sama dari KK. Kitab yang digunakan pun dibatasi dengan biasa diistilahkan “kutub al-mu’tabarah”. Kitab-kitab yang dipercayai kebenarannya. Meski demikian, apa yang disebut dengan kutub al-mu’tabarah telah terjadi pelonggaran dan pembengkakan wilayah. Sekarang, bukan hanya KK yang ditulis ulama kuno an sich, tapi memasukkan kitab-kitab yang ditulis ulama kontemporer yang dirasa selaras dan senafas dengan KK yang ditulis ulama kuno.
Di antara kitab kontemporer yang akhir-akhir ini dijadikan rujukan yaitu al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Wahbah al-Zukhaili; al-Fiqh az- Zakah, Fatawa al-Mu’ashirah, dll, yang ditulis Yusuf Qardlawi; Fiqh as-Sirah dan karya-karya Ramadlan al-Buthi; dan kitab-kitab yang lainnya.
Di samping itu, ada mekanisme transformasi nilai-nilai yang ada di KK dengan melalui pengajaran dan ngaji sang kyai kepada para santrinya.Transformasi secara langsung dari kyai ke para santri. Dan praktical educatioun (pendidikan yang melalui praktik).
Klasifikasi Kitab Kuning
1. Kitab yang masuk pada kurikulum madrasa dan pesantren.
2. Kitab-kitab yang diajikan secara non-formal, seperti ngaji bandungan, pasaran, sorogan, dll., yang tidak diaji di madrasah.
3. Kitab yang menjadi bacaan santri senior dalam mengembangkan cakrawala pemikiran Islam. Karangter kitab ini adalah kitab-kitab yang berjilid-jilid dan panjang penjelasannya. Sehingga tidak efektif jika dimasukkan menjadi kitab yang masuk pada kurikulum.
4. Kitab yg hanya dimiliki segelitir santri elit dan kyai yg sifatnya bukan kitab kuno, melainkan kitab yang dikarang ulama kontemporer akan tetapi dengan gala tulisan,pokok isi dn rujukannya selaras dengan kitab kuning. Seperti kitab Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Fiqh az-Zakah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Fatawa al-Mu’ashirah, dll. kebanyakan ditulis oleh ulama Timur Tengah yang masih berpegang teguh dn komitmen menjaga nilai-nilai tradisional dan menghargai hasil ijtihad ulama kuno, dn pada saat yang sama
mengadakan ijtihad sendiri dalam merspon problem kekinian.
5. Akhir-akhir ini bermunculan karya ulama Indonesia kontemporer. Di antaranya adalah karya KH Sahal Mahfudz, yg
ditulis dgn menggunakan bahasa Arab, dan kebanyakan karyanya merupakan komentar (syarh) atau catatan pinggir (ta’liq) atas beberapa kitab kuning. Sehingga secara otomatis tulisannya inhern di dalam batang tubuh Kitab Kuning. Dan dikaji atau dibaca oleh para kyai dan santri senior di pesantren.
Sumber: rumahkitab.com
Wa Allohu A'lam .
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik