Rabu, 29 Juli 2015

KH Maimoen Zubair Rembang - Tips Memilih Calon Istri

KH Maimoen Zubair Rembang - Tips Memilih Calon Istri
KH Maimoen Zubair Rembang : Resep mileh calon bojo (kanggo wong lanang).
Tips memilih calon istri (Utk Pria)____Terutama seng jeh lajang.

___” Nek milih bojo iku sing ora patiyo ngerti dunyo. Mergo sepiro anakmu sholeh, sepiro sholehahe ibune.
**** (Kalau memilih istri itu yang tidak terlalu mengerti masalah “dunia”. karena kesolehan anak mu bergantung pada kesolehan ibunya)

___Sohabat Abbas iku nduwe bojo ora seneng dandan, nganti sohabat Abbas isin nek metu karo bojone. Nanging Sohabat Abbas nduwe anak puuinter,ngalime poll, rupane Abdulloh bin Abbas.
**** (Sahabat Abbas itu punya istri yang tidak suka dandan, hingga Sahabat Abbas malu kalau keluar bersama istrinya, tetapi beliau punya anak yang sangat pintar dan ‘alim yaitu Abdullah bin Abbas)

___Sayyidina Husain nduwe bojo anake rojo rustam (rojo persia). Walaupun asale putri rojo, sakwise dadi bojone sayyidina Husain wis ora patiyo seneng dunyo. Mulane nduwe putro Ali Zainal Abidin bin Husain, pinter lan ngalim-ngalime keturunane Kanjeng Nabi. Kiai-Kiai Sarang ngalim-ngalim koyo ngono, mergo mbah-mbah wedo’e do seneng POSO.
**** (Sayyidina Husain punya istri dari keturunan raja Persia, walaupun asalnya seorang puteri raja, setelah menjadi istri Sayyidina Husain sudah tidak begitu senang terhadap “dunia” sehingga ia mempunya putra yang bernama Ali Zainal Abidin Bin Husain, seorang yang paling pintar dan alim dari keturunan Kanjeng Nabi. Begitu juga Kyai – kyai Sarang ‘alim ‘alim dikarenakan nenek-neneknya suka PUASA)

___Syekh Yasin Al Fadani (ulama’ asal padang yang tinggal di mekah) iku nduwe bojo wedox pinter dagang, nduwe putro loro.Sing siji dadi ahli bangunan sijine kerjo neng transportasi. Kabeh anake ora ono sing nerusake dakwahe Syekh Yasin. Neng Al Qur-an ﻧﺴﺎﺅﻛﻢ ﺣﺮﺙ ﻟﻜﻢ Istri iku ladang kanggo suami. Sepiro apike bibit tapi nek tanahe atau ladange ora apik, ora bakal ngasilno pari apik.
**** (Syekh Yasin Al Fadani – Ulama’ asal padang yang tinggal di mekah- itu mempunyai istri yang pintar berdagang, punya dua putra, yang satu menjadi ahli bangunan dan yang satunya bekerja di bagian transportasi. semua anaknya tidak ada yeng maneruskan dakwahnya Syekh yasin. Di Al Quran ﻧﺴﺎﺅﻛﻢ ﺣﺮﺙ ﻟﻜﻢ istri itu ladang untuk suami, sebagus apapun bibitnya tetapi kalau tanahnya atau ladangnya kurang bagus, tidak bakal memberikan padi yang bagus )

_________Intine iso nduwe anak pinter2,ngalim, nek bojone ORA PATIYO NGURUSI DUNYO LAN MUNG KHIDMAH POLL KARO SUAMINE.
====== Nek kowe milih istri pinter dunyo (pinter golek duet), kowe sing kudu wani tirakat. Nek ora wani tirakat, yo luru-o bojo sing ahli dzikir, kowene sing mikir dunyo alias kerjo.”

(Intinya bisa punya anak yang ‘alim kalau istrinya TIDAK DISIBUKKAN MENGURUSI DUNIA DAN SEPENUHNYA BERKHIDMAH KEPADA SUAMINYA. kalau kamu memilih istri pinter kerja dunia/pinter cari uang, kamu harus berani “tirakat”. kalau tidak berani tirakat, carilah istri yang ahli dzikir, kamu nya yang mikir dunia alias bekerja ).

_____Mugo-mugo sok awak dewe di paringi anak seng pinter tur bener, Bener LAN pinter. Aamiin....

Debat Wahabi Dan Anak Jalanan

Debat Wahabi Dan Anak Jalanan

Wahabi : “Jangan melakukan suatu ibadah yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW”
Anak Jalanan : “Kalau begitu jangan dengar Khutbah Jum’at dengan Bahasa Indonesia”

Wahabi : “Semua amalan itu tertolak kalau tidak ada contoh dari Rasulullah SAW”
Anak Jalanan : “Kalau begitu jangan lakukan Shalat Tarawih sebulan penuh di masjid”

Wahabi : “Islam itu sudah sempurna, tidak perlu di tambah-tambah lagi”
Anak Jalanan : “Kalau begitu, tidak usah banyak bicara. Karena Islam sudah sempurna, dan tidak perlu lagi di tambah ajaran aneh wahabi”

Wahabi : “Kubah kuburan wali harus di rubuhkan,karena berpotensi syirik disembah”.
Anak Jalanan : “Kenapa hanya kubah kuburan saja yg di rubuhkan, sekalian saja tebang semua pohon didunia, ratakan gunung-gunung, goa-goa, laut, hancurkan bulan, bintang, matahari, ka’bah, dan hajarul aswad karena semuanya juga berpotensi syirik untuk disembah”

Wahabi : “Salam untuk orang yang telah meninggal dunia tidak akan sampai”
Anak Jalanan : “Kalau begitu saat shalat tidak usah ucapkan “Assalamu ‘alaika ayyuhannabiyu warahmatullahi wabarakatuh”, karena Rasulullah SAW telah lama wafat”

Wahabi : “Tassawuf itu ajaran baru, karena Rasulullah SAW tidak pernah menyebut sufi”
Anak Jalanan : “Kalau begitu tidak usah belajar hadits, karena istilah-istilah muhaddits pun Rasulullah SAW tidak pernah sebut”

Wahabi : “Jangan percaya ulama, ulama itu tidak ada yang maksum, dan yang maksum hanya Rasulullah SAW”
Anak Jalanan : “Kalau begitu tidak usah pakai hadits, karena semua hadits di riwayatkan oleh para ulama”.

Wahabi : “Maulid itu bid’ah, tidak boleh di lakukan”
Anak Jalanan : “Kalau begitu jika anak kamu lahir tidak usah senyum senang, karena itu bagian dari perayaan kelahiran”

Wahabi : “Indonesia ini negara thaghut”
Anak Jalanan : “Kalau begitu tidak usah tinggal di Indonesia”

Wahabi : “Aqidah Asy’ariyyah itu sesat”
Anak Jalanan : “Kalau begitu tidak usah pakai kitab Ibnu Hajar Al Asqalani”

Wahabi : “Imam Syafi’i itu tidak maksum”
Anak Jalanan : “Apa lagi kamu … Ha ha ha⁠⁠

 
Keterangan bagi yang belum paham:

Dalam memberantas kemusyrikan, Nabi tidak pernah membongkar kuburan, dsb. Namun Nabi menanamkan ilmu Tauhid yang benar kepada ummatnya. Sebaliknya Nabi men-sunnahkan ummatnya agar ziarah kubur guna mengingat mati.

Sebagai contoh meski dari zaman sahabat Umar, Mesir sudah ditaklukkan, namun Piramida dan Sphinx tidak dihancurkan dengan dalih mencegah kemusyrikan. Karena melawan Musyrik itu dengan ilmu. Bukan dengan menghancurkan bangunan. Kalau ada yang menyembah matahari, apa kita harus menghancurkan matahari? Tidak kan? Kita sekedar meyakinkan dengan ilmu bahwa matahari itu bukan Tuhan.

Imam Syafi’ie saja tidak maksum. Apalagi kita.

Imam Syafi’ie juga hafal Al Qur’an pada umur 7 tahun serta menguasai 1 juta hadits dan melihat langsung praktek ibadah dari cucu sahabat Nabi. Jadi fiqih Mazhab Syafi’ie itu diambil berdasarkan hasil mempelajari Al Qur’an, praktek ibadah cucu sahabat Nabi, dan 1 juta hadits. Bukan sekedar pendapat pribadi Imam Syafi’ie. Imam Hadits paling top seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim pun mengikuti Mazhab Syafi’ie. Mereka tidak coba membuat2 sistem mazhab Fiqih sendiri.

***Salam Hiburan

Jumat, 24 Juli 2015

Syam'un Al-Ghazi - Kekuatan Dari Alloh

Syam'un Al-Ghazi - Kekuatan Dari Alloh
Dalam kitab "Durrotun Nasihin" pada bab Lailatul Qadr di kisahkan. Suatu ketika Nabi Muhammad saw mendapat berita dari seorang yang tua dari kaum Israil, kisah seorang pejuang Allah yang bernama Syam'un Al-Ghazi.

Syam’un memiliki senjata semacam pedang yang terbuat dari tulang rahang unta bernama Liha Jamal. Konon, hanya dengan pedang satu ini dia dapat membunuh ribuan orang kafir. Siapapun musuh yang berhadapan dengannya, pasti akan hancur dengan pedang ajaibnya.

Tidak hanya itu, bahkan ketika dia merasa haus dan lapar, dengan perantara pedangnya pula Allah memberikan makanan dan minuman.

Dengan segala kehebatannya itu, ia dibenci oleh para musuh, terutama dari golongan orang kafir. Akhirnya, dibuatlah rencana untuk membunuh Syam’un.

Mereka kemudian memanfaatkan Istri Syam’un, yang kebetulan kafir, untuk ikut membantu membunuh Syam’un. Setelah dirayu dengan imbalan yang menggiurkan, sang istri mengiyakan ajakan kaum kafir untuk membunuh Syam’un.

Maka orang kafir memberikan ide agar dia mengikat tangan dan kaki Syam’un sewaktu tidur, untuk kemudian akan dibunuh dengan beramai-ramai. Rencana tersebut awalnya berjalan mulus. Namun, ketika bangun, Syam’un dengan mudah dapat melepaskan tali yang mengikatnya dengan satu ucapan doa.

Gagal dengan rencana pertama, orang kafir menyusun rencana lainnya, yakni Syam’un diikat dengan rantai besi. Namun, dengan sekali hentakan Syam’un dapat menghancurkan rantai tersebut.

Karena penasaran, sang istri bertanya kepada Syam’un. “Kamu ini kan manusia, pasti suatu saat mati juga. Tapi apa dan bagaimana kelemahanmu?”

“Kelemahanku sebenarnya rambutku sendiri,” jawab Syam’un.

Lalu, pada suatu malam di saat orang tidur, istri Syam’un memotong rambut suaminya yang panjang kemudian diikatkan ke badan Syam’un. Berhasil, esoknya Syam’un benar-benar tidak bisa bergerak.

Kabar ini segera diumumkan kepada semua orang kafir, bahwa Syam'un sudah terjerat. Kemudian, Syam’un yang sudah tidak berdaya dibawa ke sebuah gedung untuk dieksekusi.
Pada saat itu, Allah menurunkan Malaikat Jibril untuk membantu Syam’un. “Apa permintaanmu pada Allah?” tanya Malaikat Jibril kepada Syam’un.

Kemudian dijawab Syam’un, “Aku minta hanya satu, kekuatan dari Allah! Bismillah. La haula wa la quwwata illa billah!

Seketika itu juga, tiang-tiang yang menyangga gedung menjadi ambruk, seluruh gedung pun runtuh menimpa semua orang kafir, termasuk Istri Syam’un hingga mereka semua meninggal.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kisah ini kepada para sahabat, salah satu dari mereka ada yang bertanya, “Ya Rasulullah! Berapa tahun dia berperang melawan orang kafir?”

“70 tahun,” jawab nabi.

“Lalu, berapa besar pahalanya orang ini?” tanya sahabat kembali.

Sebelum dijawab Nabi, Allah menurunkan jawaban yang terdapat pada surah Al-Qadr. Inna Anzalnahu fi Lailatil Qadr....” .

Source : nu.or.id

Disarikan dari tausiyah yang disampaikan Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Sukoharjo, KH Ahmad Baidlowi.

Manakah Yang Di Dahulukan - Taat Suami Atau Orang Tua.?

Manakah Yang Di Dahulukan - Taat Suami Atau Orang Tua.?

Seorang istri yang baik berkata pada suaminya :
Suamiku...Jika aku patuh padamu,aku akan masuk surga
Jika engkau patuh pada ibumu,kau akan masuk surga
Maka...dahulukanlah berbakti pada ibumu
Sedang aku akan selalu berbakti padamu
Agar kelak kita juga akan selalu bersama di surga.

Mana yang lebih di dahulukan,manakah yang lebih utama menghormati ibu/orang tua dan suami? Berangkat dari sabda Rasulullah yang berbunyi: "Siapa yang harus dihormati, ibumu, ibumu, ibumu, baru bapakmu.".
dari sabda di atas,kami akan memberi sedikit klarifikasi Bahwasan nya bagi seorang wanita yang belum menikah maka orang tua lebih berhak untuk ditaati. Namun ketika ia telah menikah maka taat kepada suami merupakan kewajiban yang lebih diutamakan melebihi orang tuanya. Ketaatan yang dimaksud di sini tentu saja bukan hal yang berhubungan dengan perkara maksiat. 
Sebagaimana sabda Nabi:

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

\“Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Maha Pencipta). (HR. Bukhari no. 6830, Muslim no. 1840 dan Nasai no. 4205).

Apabila ketaatakan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang wanita (istri) muslimah wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya. Imam Ahmad berkata tentang wanita yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit: “Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya”.

Seorang wanita tidak boleh mentaati kedua orang tuanya untuk berpisah dengan suaminya, tidak pula mengunjunginya dan semisalnya. Bahkan ketaatan kepada suaminya lebih wajib.
Kewajiban seorang istri untuk mentaati suaminya sangat tegas dinyatakan dalam agama Islam. 
Hal ini tertuang dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Andai boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada yang lain tentu kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya”. (HR. Tirmidzi no. 1159).

Terkait masalah yang ditanyakan oleh saudara penanya maka jawabannya tidak bertentangan karena konteksnya sudah berbeda. 
Berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam Nasai serta dishahihkan oleh Imam Hakim.

سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الناس أعظم حقا على المرأة قال زوجها قلت فعلى الرجل قال أمه

Dari Aisyah RA: “Saya pernah bertanya kepada Nabi shallallahu alihi wa sallam, siapakah yang paling besar haknya terhadap seorang wanita?” Beliau menjawab: “Suaminya”. Aku bertanya lagi: “dan terhadap lelaki?” Beliau menjawab: “ibunya”.

Jadi kesimpulannya adalah jika seorang wanita telah menikah maka kepatuhan terhadap suami lebih utama ketimbang orang tua. Dan bagi seorang lelaki meski ia sudah menikah maka kepatuhan terhadap orang tua tetap lebih utama tanpa mengesampingkan urusan rumah tangganya.

Wallahu a’lam.


Referensi:
1. Syarh Muntaha al Iradat juz 3 hal. 47

و) للزوج (منع كل منهن) أي: من زوجاته (من الخروج) من منزله إلى ما لها منه بد ولو لزيارة والديها أو عيادتهما، أو شهود جنازة أحدهما قال أحمد في امرأة لها زوج وأم مريضة: طاعة زوجها أوجب عليها من أمها إلا أن يأذن لها (ويحرم) خروج زوجة (بلا إذن أو) بلا (ضرورة) كإتيان بنحو مأكل لعدم من يأتيها به لحديث أنس: ” «أن رجلا سافر، ومنع زوجته الخروج فمرض أبوها فاستأذنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في حضور جنازته فقال لها: اتقي الله ولا تخالفي زوجك. فأوحى الله إلى النبي صلى الله عليه وسلم إني قد غفرت له بطاعتها زوجها» ” رواه ابن بطة في أحكام النساء، وحيث خرجت بلا إذنه بلا ضرورة (فلا نفقة) لها ما دامت خارجة عن منزله إن لم تكن حاملا لنشوزها (، وسن إذنه) أي: الزوج لزوجته في خروج (إذا مرض محرم لها) لتعوده (أو مات) محرمها لتشهده لما فيه من صلة الرحم وعدم إذنه يحمل الزوجة على مخالفته وقد أمره الله تعالى بالمعاشرة بالمعروف وليس هذا منها

 1. Al Inshaf juz 8 hal. 362.

لا يلزمها طاعة أبويها في فراق زوجها، ولا زيارة ونحوها. بل طاعة زوجها أحق

3. Tuhfah al Ahwadziy juz 4 hal. 271.

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
……………………………………………………………………
قوله (لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها) أي لكثرة حقوقه عليها وعجزها عن القيام بشكرها وفي هذا غاية المبالغة لوجوب إطاعة المرأة في حق زوجها فإن السجدة لا تحل لغير الله

4. Fathul Bari li Ibni Hajar juz 10 hal. 401.

وأشار بن بطال إلى أن الترتيب حيث لا يمكن إيصال البر دفعة واحدة وهو واضح وجاء ما يدل على تقديم الأم في البر مطلقا وهو ما أخرجه أحمد والنسائي وصححه الحاكم من حديث عائشة سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الناس أعظم حقا على المرأة قال زوجها قلت فعلى الرجل قال أمه ويؤيد تقديم الأم حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن امرأة قالت يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن ينزعه مني فقال أنت أحق به ما لم تنكحي كذا أخرجه الحاكم وأبو داود

5. Al Mausu’ah al Fiqhiyyah juz 19 hal. 109-110.

وللزوج منع زوجته من الخروج من منزله إلى ما لها منه بد، سواء أرادت زيارة والديها أو عيادتهما أو حضور جنازة أحدهما. قال أحمد في امرأة لها زوج وأم مريضة: طاعة زوجها أوجب عليها من أمها إلا أن يأذن لها، وقد روى ابن بطة في أحكام النساء عن أنس أن رجلا سافر ومنع زوجته من الخروج فمرض أبوها، فاستأذنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في عيادة أبيها فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم اتقي الله ولا تخالفي زوجك فأوحى الله إلى النبي صلى الله عليه وسلم: إني قد غفرت لها بطاعة زوجها ولأن طاعة الزوج واجبة، والعيادة غير واجبة فلا يجوز ترك الواجب لما ليس بواجب. ولا ينبغي للزوج منع زوجته من عيادة والديها، وزيارتهما لأن في منعها من ذلك قطيعة لهما، وحملا لزوجته على مخالفته، وقد أمر الله تعالى بالمعاشرة بالمعروف، وليس هذا من المعاشرة بالمعروف
 
Source :
http://www.fikihkontemporer.com

Istri Menerima Tamu Ketika Suami Tak Ada Di Rumah

Istri Menerima Tamu Ketika Suami Tak Ada Di Rumah
Rumah keluarga adalah rumah kemuliaan dan kehormatan. Allah perintahkan kedua suami ataupun istri untuk saling menjaganya. Terutama istri, yang secara khusus Allah perintahkan agar menjaga amanah di rumah suaminya. Karena istri adalah rabbatul bait (ratu di rumah suaminya), yang bertugas menjaga rumah suaminya.

Diantara ciri wanita shalihah, Allah sebutkan dalam al-Quran :

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Sebab itu wanita yang salehah, adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. (QS. an-Nisa: 34).
Dan upaya wanita menjaga kehormatan dirinya, harta suaminya, dan rumahnya, merupakan hak suami yang menjadi kewajiban istri.

Jabis Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, dalam haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan dalam khutbahnya :

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ ، فَإِنَّكُم أَخَذتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ ، وَاستَحلَلتُم فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ ، وَلَكُم عَلَيهِنَّ أَلَّا يُوطِئنَ فُرُشَكُم أَحَدًا تَكرَهُونَهُ ، فَإِن فَعَلنَ ذَلك فَاضرِبُوهُنَّ ضَربًا غَيرَ مُبَرِّحٍ ، وَلَهُنَّ عَلَيكُم رِزقُهُنَّ وَكِسوَتُهُنَّ بِالمَعرُوفِ

Bertaqwalah kepada Allah terkait hak istri-istri kalian. Kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah, dan kalian halal berhubungan dengan mereka karena Allah halalkan melalui akad. Hak kalian yang menjadi kewajiban mereka, mereka tidak boleh memasukkan lelaki di rumah. Jika mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Sementara mereka punya hak disediakan makanan dan pakaian dengan cara yang wajar, yang menjadi kewajiban kalian. (HR. Muslim 1218).
 
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah di jelaskan :

من حقّ الزّوج على زوجته ألاّ تأذن في بيته لأحد إلاّ بإذنه ، لما ورد عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أنّ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم قال : ( لَا يَحِلُّ لِلْمَرأَةِ أَن تَصُومَ وَزَوجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذنِهِ ، وَلَاْ تَأْذَن فِي بَيتِهِ إِلاّ بِإِذنِهِ ) رواه البخاري ( 4899 ) ومسلم ( 1026 ) .

Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya, dia tidak boleh mengizinkan seorangpun masuk rumah, kecuali dengan izin suaminya. Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 “Tidak halal bagi wanita untuk puasa sunah, sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan izin suaminya. Dan istri tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari 4899 & Muslim 1026).

ونقل ابن حجر عن النّوويّ قوله : “في هذا الحديث إشارة إلى أنّه لا يُفتات على الزّوج بالإذن في بيته إلاّ بإذنه ، وهو محمول على ما لا تعلم رضا الزّوج به ، أمّا لو علمت رضا الزّوج بذلك فلا حرج عليها

Ibnu Hajar menukil keterangan dari an-Nawawi mengenai hadis ini :

Bahwa dalam hadis ini terdapat isyarat, bahwa istri tidak boleh memutuskan sendiri dalam memberi izin masuk rumah, kecuali dengan izin suami. Dan ini dipahami untuk kasus yang dia tidak tahu apakah suami ridha ataukah tidak. Namun jika dia yakin suami ridha dengan keputusannya, tidak menjadi masalah baginya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 30/125).

Sebagai contoh, tamu yang tidak perlu izin dari suami, tamu dari kerabat suami atau kerabat istri. Mereka bisa dipersilahkan masuk, selama masih mahram dengan istri.

Untuk tamu asing :

Ketika datang tamu asing, bukan keluarga suami maupun istri, sementara suami tidak ada di rumah, istri tidak boleh mengizinkan masuk tamu itu.
Jika tamu menyampaikan salam, istri cukup menjawab salamnya dengan pelan dari dalam tanpa membukakan pintu.

Jika tamu menyadari  ada penghuni di dalam, dan dia minta izin masuk, cukup sampaikan bahwa suami tidak di rumah dan tidak boleh diizinkan masuk.

Semoga Allah menjaga keluarga kaum muslimin. 

Wa Allohu a'lam.

[konsultasisyariah.com)

Mengintip Tradisi Mayoran Di Pondok Pesantren

Mengintip Tradisi Mayoran Di Pondok Pesantren
KABAR PESANTREN - Mayoran berasal dari bahasa Jawa yang artinya “makan bersama”. Di dunia pesantren, khususnya pesantren salaf atau kombinasi salaf-modern, mayoran sudah menjadi tradisi atau bahkan ”ritual wajib” pada hari-hari tertentu, misalnya seusai acara jamiyyah kamar atau setelah ujian semester berakhir.
 
Mayoran umumnya dilakukan oleh sekelempok santri yang berasal dari kelas, kamar, asrama, atau dari daerah yang sama. Mereka memilih menu bersama-sama, berbelanja bahan makanan bersama, mencari kayu bakar bersama, memasak bersama, lalu makan bersama. Bahkan nampan tempat makannya (Jawa: talam), juga dibersihkan bersama-sama, kecuali jika mereka makan beralaskan daun pisang.

Mayoran ala pesantren tidak memandang menu makanan atau minuman, karena yang ditekankan adalah kebersamaan. Bahkan, sebagian besar kegiatan mayoran justru memilih menu yang sangat sederhana, misalnya sambel tomat atau terong bakar. Kalaupun ada yang memilih menu agak istimewa, paling banter cuma tahu tek, tempe penyet, sayur lodeh, atau jangan tewel (buah nangka muda yang dimasak sebagai kuah).

Peserta mayoran biasanya mengolah menu makanan di dapur umum milik pesantren. Dapurnya kotor, becek, apek, dan dindingnya menghitam karena jarang dicat. Meski demikian, peserta mayoran menikmati suasana itu dengan riang gembira. Uniknya lagi, tidak ada koki khusus; semua peserta mayoran adalah koki (koki dadakan).

Meski menunya sederhana dan kokinya keroyokan (otomatis hasil masakannya semrawut), tapi peserta mayoran tetap makan dengan lahap. Jarang ada sisa makanan. Mereka merasakan kelezatan bukan dari menu atau bumbunya, melainkan dari kebersamaannya. Canda-tawa peserta mayoran bahkan bisa bertahan hingga larut malam. Mereka ngobrol setelah makan, sambil menikmati teh panas atau es teh yang masih tersisa. Mayoran menjadi semacam pesta paling mewah di jagat pesantren.

***

Tradisi mayoran ini jarang mendapat perhatian dari para peneliti pesantren. Tidak ada referensi khusus tentang mayoran, karena mayoran memang bukan kegiatan ilmiah. Meski demikian, tradisi ini sebenarnya mengandung filosofi yang sangat dalam, terkait dengan pentingnya pendidikan kesederhanaan dan kebersamaan.

Telah kita maklumi, pesantren tidak hanya mengajari santri tentang ilmu teoritik (what), tapi juga kenapa ia belajar (why) dan bagaimana caranya (how). Santri diajari memahami hakikat dirinya dan bagaimana seharusnya dia mendidik dirinya sendiri. Hal itu dilakukan untuk membentuk mental dan karakter si santri, agar kelak siap hidup bermasyarakat.

Pesantren mengajarkan santri untuk terbiasa sederhana. Bahkan, saking sederhananya, banyak santri yang kurang memperhatikan penampilan dan kesehatan. Contohnya kamar santri (Jawa: gothakan) yang rata-rata sempit, pengap, dan tanpa ventlasi yang memadai, harus dicarikan cara agar cukup dihuni oleh puluhan orang. Lemarinya juga kecil. Tidurnyapun biasanya di lantai, tanpa bantal, terkadang tanpa alas dan selimut. Bahkan di sejumlah pesantren salaf, banyak santri yang terpaksa tidur di masjid, musholla, kelas, atau di depan asrama, karena kamarnya sudah penuh. Dalam kondisi yang serba memprihatinkan itu, mayoritas santri—anehnya—bisa tidur dengan lelap dan sulit dibangunkan. Mereka juga jarang mengeluh atau merasa menderita.

Di kamar yang sempit itu, mereka menjalankan aktivitas rutin seperti kegiatan jamiyyah, latihan pidato, tahlil, sekaligus tempat bercengkrama sesama warga kamar. Kamar adalah tempat mereka bersosialisasi, hidup berkeluarga tanpa mengenal sekat usia, harta, kelas, apalagi latarbelakang keluarga dan jabatan orangtua. Mereka hidup bersama sebagai manusia biasa, sederhana, bersahaja.

Kemudian sarana MCK di pesantren juga seadanya. Kamar mandinya kecil. Kalaupun agak besar, biasanya hanya berupa kolam (Jawa: blumbang), sungai, pancuran, atau sumur. Tidak peduli dia anak kiai, anak orang kaya, atau anak pejabat; semuanya mandi di tempat yang sama. Anak pejabat mandi dengan menimba di sumur, adalah hal yang lumrah di pesantren. Bandingkan dengan—sebagian—pejabat yang gemar mencari popularitas dengan makan nasi pecel di warung pinggir jalan.

Ini belum menghitung tradisi tirakat di pesantren, seperti puasa Senin-Kamis, Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak), ngrowot (tidak makan nasi), atau mutih (hanya berbuka dengan nasi putih tanpa lauk). Semua jenis tirakat ini bukan hanya mengajarkan kesederhanaan, tapi juga pola hidup prihatin dan siap menderita.

Disiplin juga sangat ditekankan di pesantren. Mulai sebelum subuh hingga subuh lagi, semuanya sudah terjadwal. Bahkan jadwal memasak nasi, mencuci baju, mengatur keuangan, semuanya harus diatur seoptimal mungkin. Kedisiplinan seperti ini tentu saja berpengaruh dalam membentuk karakter santri.

***

Di tengah kondisi yang demikian, tradisi mayoran seakan-akan mengisi 3 (tiga) ”ruang hidup santri” selama mondok di pesantren.  

Pertama, ruang kedisiplinan. Di tengah-tengah padatnya aktivitas yang menuntut kedisiplinan tinggi, para santri dapat melepaskan rasa capek dan pusing dengan ngobrol sambil mayoran. Berarti, mayoran adalah pelepas kepenatan.

Kedua, ruang kesederhanaan. Dengan menu seadanya, kegiatan mayoran laksana pelengkap sekaligus bukti kesederhanaan santri. Karena mayoran di pesantren tidak mengenal tradisi potong tumpeng. Kalapun ada yang dipotong, paling-paling hanya mengiris buah jengkol.

Ketiga, ruang kebersamaan. Mayoran adalah pelengkap tradisi kebersamaan yang memang sudah ada di pesantren, seperti tidur bersama, mandi bersama, kerja-bakti bersama, mengaji bersama, lalaran bersama, dst. Mayoran mampu membentuk jiwa santri untuk mencintai kerukunan, persaudaraan, dan kesederhanaan. Itulah sebabnya, jarang terdengar berita tawuran antar-santri atau tawuran antar-pesantren, karena kerukunan di antara mereka sudah terbangun dari dalam. Bandingkan dengan tawuran antar pelajar atau tawuran antar-mahasiswa, bahkan ”tawuran”—maaf—antar anggota DPR, yang sudah menjadi tontonan umum sehari-hari.

So, tradisi mayoran perlu dilestarikan di pesantren, agar para santri tetap hidup rukun. Mayoran juga bisa ditawarkan kepada anggota DPR, agar mereka belajar hidup rukun.

hahaha................ =D

Manfaat Dan Keutamaan Puasa 6 Hari Sesudah Idul Fitri

Manfaat Dan Keutamaan Puasa 6 Hari Sesudah Idul Fitri


Apa saja manfaat yang di dapat seseorang ketika dirinya berpuasa 6 hari setelah menjalankan hari raya idul fitri.?
Membiasakan puasa setelah Ramadhan terutama 6 hari setelah 'ied fitri memiliki banyak kemanfaatan, di antaranya :

1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.

Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di atas- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.

Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau menjelaskan:

"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman :

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) " (Al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Lalu apa saja keutamaan berpuasa 6 hari setelah 1 Syawwal :

Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).

Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:

"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." 

( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")

Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Ibnu Hibban di atas.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.

Wa Allohu A'lam. 

Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo - Kaji Tafsir Nusantara

Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo - Kaji Tafsir Nusantara

Kabar Pesantren - Jauh sebelum ramainya pembicaraan Islam Nusantara, Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo Grobogan, Jawa Tengah telah lama konsisten dalam mengkaji tafsir karya ulama Nusantara rutin setiap bulan Ramadhan yaitu kajian Tafsir Jami’ul Bayan karya Syech Muhammad Bin Sulaiman, Solo.
“Tafsir Jami’ul Bayan telah dikaji di pesantren ini sejak Allahu Yarham Bapak saya (Drs KH Ahmad Baedlowie Syamsuri, Lc – red) hingga sekarang,” ungkap KH Muhammad Shofi Al-Mubarok Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo Grobogan.
Kitab tersebut, lanjut alumnus pesantren Krapyak dan Lirboyo ini, sudah dicetak ribuan eksemplar serta diajarkan kepada para santri Sirojuth Tholibin. Namun hingga kini belum ada pihak yang mencetak serta menyebarluaskan di kalangan akademisi maupun masyarakat luas sehingga banyak masyarakat yang belum tahu, hanya masih di kalangan tertentu saja.
Syech Muhammad bin Sulaiman merupakan menantu KH Ahmad Shofawi Mangkuyudan Solo. Ia mendapat sanad Al Qur’an bil ghoib dari gurunya Syaikh Dimyati Tremas, Syaikh Muhammad Abdul Bari Al-Madani, Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah Rosyad Krapyak Yogyakarta dan Syaikh Muhsin bin Abdullah Assegaf Solo.

Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo - Kaji Tafsir Nusantara
Sanad ke tujuh dari Rasulullah 
Ada yang unik dalam sanad Syech Muhammad bin Sulaiman seperti yang diungkapkan oleh Hj Maemunah Baedlowie, salah satu murid yang mendapat sanad langsung dari Syech Muhammad. Selain ia mempunyai empat sanad dari empat guru tersebut, ia juga mempunyai sanad ke tujuh dari Rasulullah SAW. Jalur ini didapat dari gurunya Syaikh Muhsin bin Abdullah Assegaf.
“Sanad ini didapat dari guru Beliau, Syaikh Muhsin. Di atasnya ada perawi berupa jin. Karena makhluk ini mempunyai umur sangat panjang, maka memungkinkan jalur sanadnya sangat pendek. Jika pada umumnya sanad sekarang mencapai tingkatan tiga puluh lebih, Syech Muhammad hanya ke tujuh dari Rasulullah,” tutur Hj Maemunah.
[sirojuth-tholibin.net]

Sholat Berduaan Dengan Perempuan Lain Mahram

Sholat Berduaan Dengan Perempuan Lain Mahram
Muslimah - Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan, kecuali dia ditemani mahramnya.” (HR Al-Bukhari 5233 dan Muslim 1341).

Kemudian dari Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad 177,At- Turmudzi 2165, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Abu Ishaq as-Syaerozi – ulama syafiiyah – (w 476 H) menyatakan,

ويكره أن يصلي الرجل بامرأة أجنبية ; لما روي أن النبي قال : لا يخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان

Makruh (tahrim) seorang laki-laki shalat mengimami seorang wanita yang bukan mahram.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.” (al-Muhadzab, 1/183).

Penjelasan an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab yaitu :

المراد بالكراهة كراهة تحريم هذا إذا خلا بها: قال أصحابنا إذا أم الرجل بامرأته أو محرم له وخلا بها جاز بلا كراهة لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة وإن أم بأجنبية وخلا بها حرم ذلك عليه وعليها للأحاديث الصحيحة

Yang dimaksud makruh dari keterangan beliau adalah makruh tahrim (artinya: haram).
Ini jika lelaki itu berduaan dengan seorang perempuan yang lain mahram

Para ulama madzhab Syafii mengatakan, apabila seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan berduaan dengannya, hukumnya boleh dan tidak makruh.
Karena boleh berduaan dengan istri atau mahram di luar shalat. Namun jika dia mengimami wanita yang bukan mahram dan berduaan dengannya, hukumnya haram bagi lelaki itu dan haram pula bagi si wanita. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4/277).

Bahkan an-Nawawi juga menyebutkan keterangan dari Imam as-Syafii, bahwa beliau mengharamkan seorang laki-laki sendirian, mengimami jamaah wanita, sementara di antara jamaah itu, tidak ada seorangpun lelaki.
Penjelasan an-Nawawi :

ونقل إمام الحرمين وصاحب العدة.. أن الشافعي نص على أنه يحرم أن يصلي الرجل بنساء منفردات إلا أن يكون فيهن محرم له أو زوجة وقطع بانه يحرم خلوة رجل بنسوة إلا أن يكون له فيهن محرم

Imamul Haramain dan penulis kitab al-Uddah.., bahwa Imam as-Syafii menegaskan, haramnya seorang laki-laki mengimami jamaah beberapa wanita tanpa lelaki yang lain.Kecuali jika ada diantara jamaah wanita itu yang menjadi mahram si imam atau istrinya. Beliau juga menegaskan, bahwa terlarang seorang lelaki berada sendirian di tengah para wanita, kecuali jika di antara mereka ada wanita mahram lelaki itu. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4/278).

Mengapa Diharamkan?

Sekalipun dalam kondisi ibadah, kita diperintahkan untuk menghindari segala bentuk fitnah. Tak terkecuali fitnah syahwat.

Dalam Syarh Zadul Mustaqni’, Syaikh as-Syinqithy menjelaskan :

وإذا خلا بأجنبية فإنه منهي عن هذه الخلوة لقوله عليه الصلاة والسلام: ما خلا رجلٌ بامرأة إلا كان الشيطان ثالثهما، وقال: (ألا لا يخلون رجلٌ بامرأة) فهذا نهي، قالوا: وبناءً على ذلك لا يصلي الرجل الأجنبي بالمرأة الأجنبية على خلوة؛ لأنه قد يخرج عن مقصود الصلاة إلى الفتنة

Apabila seseorang berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan mahram, hukumnya terlarang. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Jika seorang lelaki berduaan dengan wanita, maka setan yang ketiganya.’ Beliau juga bersabda, ’Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita.’ Ini larangan. 

Para ulama mengatakan, berdasarkan hal ini, tidak boleh seorang lelaki mengimami shalat dengan wanita yang bukan mahram, secara berdua-duaan. Karena bisa jadi keluar dari tujuan utama yaitu shalat, menjadi sumber fitnah syahwat. (Syarh Zadul Mustaqni’, 3/149).

Hal yang sama juga disampaikan Imam Ibnu Utsaimin :

إذا خَلا بها فإنَّه يحرُمُ عليه أن يَؤمَّها ؛ لأنَّ ما أفضى إلى المُحَرَّمِ فهو محرَّمٌ

Apabila seorang lelaki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, maka haram baginya untuk menjadi imam bagi wanita itu. Karena segala yang bisa mengantarkan kepada yang haram, hukumnya haram. (as-Syarh al-Mumthi’, 4/251).(muslimah corner)

Roudhotul 'Ulum Guyangan Pati,Hafalan mengasah Kecerdasan

Raudlatul 'Ulum Guyangan Pati,Hafalan mengasah Kecerdasan

Kabar Pesantren - Pondok Pesantren Raudlatul Ulum yang berdiri megah di Desa Guyangan, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah didirikan oleh Almaghfurlah KH Suyuthi Abdul Qodir pada awal 1950-an. Sejak awal berdirinya, pesantren ini terus-menerus mengalami perkembangan dinamis. 
 
Dari hanya belasan santri yang mondok hingga membengkak menjadi 5426 santri pada Am Dirasiy 2014/2015. Dari hanya memiliki sarana prasarana pendidikan yang amat sederhana hingga prasarana pendidikan dan kesehatan yang cukup representatif. Rumah Sakit As-Suyuthiyyah menjadi bukti pesantren ini sangat peduli kesehatan santri dan warga sekitar.


Setelah Sang Pendiri wafat pada Selasa 4 Dzulqa’dah 1979, putra-putra kebanggaan Mbah Suyuthi pun “turun gunung” untuk mengawal Pesantren Guyangan. Sayangnya, KH Salim Suyuthi (putra kedua, wafat 2001) dan KH M Humam Suyuthi (putra kelima, wafat 2010) tidak berumur panjang.


Kiai Salim dan Kiai Humam dipanggil ke haribaan-Nya dalam usia relatif muda. Akhirnya, tersisalah KH Faruq Suyuthi yang setia mendampingi adik bungsunya, KH M Najib Suyuthi, memegang tongkat estafet kepemimpinan Pesantren Guyangan hari kini.


Menurut Kiai Najib, santri Guyangan tidak hanya diajarkan intelektual. Namun juga menekankan pentingnya akhlakul karimah. “Santri Raudlatul Ulum harus lolos ujian munaqasyah, harus hafal juz amma, harus mencapai nilai standar. Berapa kali sepanjang belum memenuhinya, maka dia akan mengulang,” tegasnya.


Dalam melaksanakan proses belajar mengajar, Pesantren Guyangan mengacu pada materi-materi pelajaran berbasis kitab kuning. Selain itu, juga dilengkapi dengan kurikulum Kemenag dan Kemendikbud. Wal hasil, seluruh mata pelajaran untuk setiap jenjang bisa mencapai angka 30-an. Untuk sekolah lain tidak lebih 20 mata pelajaran.


Hafalan, syarat kenaikan kelas


Setiap santri Guyangan harus siap dengan aneka syarat kenaikan kelas. Syarat mutlak kenaikan kelas di semua jenjang pendidikan antara lain: untuk tingkat Ibtidaiyah, Diniyah, dan Tsanawiyah harus hafal Nahwu (al-Nahwu al-Wadlih) dan Shorof (al-Amtsilat al-Tashrifiyah), untuk tingkat Tsanawaiyah harus hafal Nahwu 1000 bait (Alfiyah Ibnu Malik), untuk tingkat Aliyah harus hafal matan al-Qawaid al-Fiqhiyah 525 bait.


Tradisi menghafal ini, bagi Kiai Najib, sangat mendukung dalam memahami kitab kuning. Pemberlakuan syarat hafalan ini telah dilakukan sejak Raudlatul Ulum didirikan. Tujuannya, memberi bekal santri mengasah kecerdasan. Untuk madrasah atau pesantren di Pati, tinggal Guyangan dan Mathaliul Falah Kajen asuhan KH MA Sahal Mahfudh yang masih mempertahankan hafalan sebagai kenaikan kelas secara turun-temurun.


Kecuali Persyaratan di atas, khusus para santri kelas XII MA dinyatakan tamat dari Pesantren Raudlatul Ulum apabila lulus Ujian Munaqasyah. “Ujian khusus kelas XII (3 Aliyah-red) ini meliputi Baca Kitab Kuning, Hafalan Al-Qur’an 1 Juz, Conversation Bahasa Inggris, Muhadatsah Bahasa Arab, dan membuat Karya Tulis Ilmiah,” papar Kiai Najib.


Selain itu, para santri juga diharuskan meraih nilai standar 75. Tentang Kelakuan, Kerajinan/Kedisiplinan, Kerapian dan Kebersihan, setiap santri  juga harus meraih minimal nilai B dalam aspek ini. Karena sudah teruji sejak awal, santri Guyangan pun tampil percaya diri ketika lulus. Menurut Ahmad Minan Abdillah, salah seorang pengajar di Guyangan, alumni Guyangan tercatat melanjutkan pengembaraan intelektualnya di 31 kampus baik negeri maupun swasta di dalam negeri. “Selebihnya di 11 kampus mancanegara. Mayoritas di Al-Azhar Kairo Mesir,” ujar salah satu cucu Mbah Suyuthi ini.


Gus Minan menambahkan, tak heran jika Pesantren Raudlatul Ulum memiliki hubungan baik dengan Al-Azhar. Sehingga dosen pengajar bahasa Arab berkebangsaan Mesir pun diperbantukan di Guyangan oleh pihak Al-Azhar.


Dari tahun ke tahun, Pesantren Raudlatul Ulum selalu meraih prestasi gemilang baik di bidang Intelektual, Olah Raga dan Seni mulai tingkat Kabupaten, Provinsi hingga Nasional. Prestasi tingkat nasional antara lain masuk sepuluh besar Debat Bahasa Inggris, Musabaqoh Fahmi Kutubit Turats (MFKT) di Jambi. Juara I, Juara III, Juara Harapan II dan III pada Lomba Penulisan Proposal Wirasantri Mandiri Tingkat Nasional di Solo.


“Santri Guyangan juga menjuarai Musabaqoh Qiro’atul Kutub (MQK) Tingkat Nasional di Banjarmasin (Tingkat Ula Bidang Akhlaq, Lughoh, dan Tafsir) serta Juara Lomba Mengarang Berbahasa Inggris Tingkat Nasional, dan Juara II bidang Nahwu dan Tarikh pada Musabaqoh Fahmi Kutubit Turats Tingkat Nasional di NTB,” ujar Gus Minan.


Man jadda wajada


Sedari awal, Santri Guyangan telah akrab dengan kitab kuning. Untuk tingkat tsanawiyah, misalnya, mereka belajar Alfiyah Ibn Malik (Nahwu/Shorof), Tuhfat al-Thullab (Fiqh), Tafsir al-Jalalain (Tafsir), Bulugh al-Maram (Hadis), Dasuqi ala Ummi al-Barahin dan al-Husun al-Hamidiyyah (Tauhid), Ta’lim al-Muta’allim (Akhlaq), Lathaif al-Isyarat (Ushul Fiqh).

“Lalu, Jauhar al-Maknun (Balaghah), Matn al-Rahabiyah (Ilmu Faraid), Durus al-Falakiyah (Ilmu Falak), Minhat al-Mughits (Musthalah Hadis), Mukhtashar Syafi (Ilmu Arudl). Nah, untuk Arudl ini hanya santri putri yang mempelajarinya,” ujar Kiai Najib.


Sedangkan untuk jenjang Aliyah, lanjut Kiai Najib, Fath al-Wahhab (Fiqh), Tafsir al-Jalalain (Tafsir), Tajrid al-Sharih (Hadis), Maraqi al-Ubudiyyah (Akhlaq), Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy (Sejarah Islam), Ghayat al-Wushul (Ushul Fiqh), Uqud Al-Juman (Balaghah), Fath al-Rauf al-Mannan (Ilmu Falak).


“Kemudian, al-Asybah Wa an-Nadhair (Qawaid al-Fiqhiyyah), Minhat al-Mughits (Musthalah Hadis), Ilmu Tafsir al-Suyuthi (Ilmu Tafsir), dan Idhahu al-Mubham (Mantiq). Nah, kalau Mantiq ini hanya dipelajari santri putra,” papar bapak dua anak ini.


Muatan lokal yang masih utuh dan asli ini, tambahkan Kiai Najib, lalu dijumlah dengan kurikulum lainnya sehingga total 32 mata pelajaran. “Ini tentu sangat berat. Meski demikian, Insya Allah ini tidak memberatkan dan menjadi beban sepanjang para santri memiliki komitmen dan kesungguhan. Saya sering katakan pada anak-anak, man jadda wajad (siapa sungguh-sungguh, akan sukses),” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Anam)