Baca juga tulisan menarik lainnya
Berikut
ini saya cuplikkan tentang Hukum Bagi Wanita yang sedang Haid tentang
boleh apa tidak untuk mendatangi orang yang sudah meninggal untuk
Ta'ziyah atau melayat
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh ustadz
atau ustadzah, saya baru mengenal da’wah salaf. Beberapa waktu yang
lalu, secara tidak sengaja saya mengikuti dauroh di masjid UGM kemarin.
Saya ditanya bude saya, bolehkah wanita yg sdg haidl ikut ta’ziyah, tapi
hanya datang ke rumah yang sedang ditimpa musibah, tidak sampai ikut ke
pemakaman. Jazakumullohu khoiron katsir atas jawabanya.
Jawaban:
Kepada Ukhti Ummu Izzah, Assalamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh, alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad. Amma ba’du.
Sebelumnya,
kami memohon maaf atas keterlambatan jawaban ini. Tidak ada yang patut
kita ucapkan selain rasa syukur kepada Allah atas anugerah-Nya kepada
hati kita yang telah jatuh cinta dengan manhaj Salaf, ridhwanullaahi ‘alaihim ajma’iin. Saudariku, kedudukan seorang wanita muslimah yang shalihah dalam pandangansalafush shalih adalah sangat terhormat. Karena dia adalah penanggung jawab ketenteraman rumah suaminya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atasnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Apalagi jika wanita tersebut adalah wanita yang
memahami seluk beluk ajaran agama-Nya. Sebagaimana yang ada pada diri
Ibunda ‘Aisyahradhiallahu ta’ala ‘anha yang telah berjasa besar menyampaikan hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
kita. Sehingga beliau tercatat sebagai salah seorang sahabat yang
paling banyak meriwayatkan hadits. Semoga Allah mengaruniakan kepada
wanita-wanita muslimah di negeri kita dan di seluruh negeri kaum
muslimin sikap tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya dan senantiasa menjaga
kehormatan mereka.
Adapun
yang ukhti tanyakan tentang hukum wanita mengikuti ta’ziyah padahal dia
sedang haidh, maka sebatas yang kami ketahui seorang wanita yang haidh
atau nifas (pendarahan karena melahirkan) itu dilarang untuk melakukan
beberapa hal yaitu: sholat atau thawaf di Ka’bah, berpuasa dan
berhubungan suami istri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sholat tidak akan diterima tanpa suci.” (HR. Muslim)
Thawaf juga tidak boleh karena Nabi menyebut thawaf termasuk sebagai sholat. Beliau bersabda, “Thawaf mengelilingi Ka’bah adalah sholat, hanya saja Allah membolehkan bercakap-cakap di dalamnya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi, Shahih Jami’ush Shaghir no. 3954, Al Wajiz, hal. 38).
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Dahulu
kami mengalami haidh di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka kami pun diperintahkan untuk mengqadha’ (mengganti) puasa (di hari lain) dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ sholat.” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan larangan berhubungan intim bagi wanita haidh terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah apapun kecuali hubungan intim.”(HR. Muslim, dll Shahih Jami’ush Shaghir 527, Al Wajiz, hal. 52)
Adapun larangan bagi kaum wanita dan juga kaum pria ketika terjadi musibah kematian di antara mereka ialah:
- Meratapi mayit (niyahah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Perempuan yang meratap dan tidak bertaubat sebelum matinya maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan mengenakan jubah dari ter dan dibungkus baju dari kudis.” (HR. Muslim, Ash Shahihah 734, Al Wajiz, hal. 162).
- Menampar-nampar pipi dan merobek-robek kain pakaian sebagai ekspresi perasaan tidak terima dengan takdir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
- Mencukur rambut karena tertimpa musibah. Sahabat Abu Musa mengatakan,“Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaaliqah, haaliqah dan syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih). Shaaliqah adalah perempuan yang menangis dengan keras-keras.Haaliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya ketika tertimpa musibah, sedangkan Syaaqqah adalah wanita yang menyobek-nyobek pakaiannya karena tidak terima dengan ketetapan takdir dari Allah (lihat Al Wajiz, hal. 162, Taisirul ‘Allaam, I/319).
- Mengurai atau mengacak-acak rambut. Hal ini berdasarkan salah satu isi janji setia kaum wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu,“(Kami berjanji) untuk tidak mengacak-acak rambut (ketika tertimpa musibah).” (HR. Abu Dawud, Al Jana’iz, hal. 30, shahih, lihat Al Wajiz hal. 162).
Sedangkan amalan yang sangat dianjurkan adalah menyolati jenazah dan mengikuti iringan jenazahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barang
siapa yang menyolati jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya maka
dia mendapat pahala satu qirath. Dan apabila dia juga mengiringinya maka
dia mendapat pahala dua qirath” Ditanyakan kepada beliau, “Apa maksud
dari dua qirath?” Beliau menjawab, “Yang terkecil dari keduanya (satu
qirath) ialah serupa dengan besarnya Gunung Uhud.” (HR. Muslim).
Akan tetapi keutamaan mengikuti iringan jenazah ini hanya berlaku bagi
kaum lelaki, bukan bagi kaum perempuan. Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Kami (kaum wanita) dilarang untuk mengikuti iringan jenazah namun beliau tidak keras dalam melarangnya.”(Muttafaq ‘alaih)
Dan
termasuk amalan yang disyariatkan ialah melakukan ta’ziyah. Ta’ziyah
ialah menyuruh keluarga yang ditinggal mati untuk bersabar, membuat
mereka terhibur dan tabah sehingga akan meringankan penderitaan yang
mereka rasakan dan mengurangi kesedihan hati mereka. Ini bisa dilakukan
oleh kaum laki-laki maupun wanita. Nabi bersabda, “Tidaklah
seorang mukmin menta’ziyahi saudaranya karena musibah yang menimpanya
melainkan Allah ‘azza wa jalla memberinya pakaian kemuliaan pada hari
kiamat.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad jayyid,Ensiklopedi Muslim, hal. 391). Hal itu bisa dilakukan dengan menyampaikan nasihat dan ucapan yang baik kepada keluarganya, semacam mengatakan,“Sesungguhnya
hak Allah untuk mengambil sesuatu yang menjadi milik-Nya. Dan Dia lah
yang berhak menarik apa yang sudah diberikan. Dan segala sesuatu sudah
ditetapkan ajalnya maka sabar dan harapkanlah pahala.” (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 391, Al Wajiz, hal. 181, Ukhti juga bisa mendapatkan bimbingan audio visual penyelenggaraan Jenazah di dalam VCD Tata Cara Penyelenggaraan Jenazahyang
diterbitkan oleh saudara-saudara kami yang tergabung dalam Al Markaz
production, semoga Allah mengganjar mereka dengan pahala
sebesar-besarnya).
Ketika melakukan ta’ziyah seyogyanya dijauhi dua perkara yaitu:
Pertama, sengaja berkumpul-kumpul di tempat kematian; seperti di rumahnya, pekuburan atau di masjid.
Kedua, keluarga mayit membuatkan makanan bagi para pelayat.
Kedua hal ini terlarang berdasarkan ijma’ (konsensus) para Sahabat. Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kami
(para sahabat) mengategorikan perbuatan berkumpul-kumpul di tempat
keluarga mayit serta membuat jamuan makan (untuk pelayat) sesudah
penguburannya adalah termasuk niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah 1308) dan meratapi mayit adalah haram.
Adapun
amalan yang dituntunkan ialah kerabat atau tetangga-tetangganyalah yang
membuatkan makanan untuk keluarga si mayit. Karena ketika diumumkan
kematian Ja’far yang terbunuh dalam perang, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sesungguhnya mereka telah tertimpa urusan yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud, dll). Sunnah inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i rahimahullah (lihatAl Munakhkhalah,
hal. 66). Imam Asy Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di
rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab Al Umm, sebagai berikut, “Aku
tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit),
meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan
menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248, dicuplik dariTahlilan dan Selamatan Menurut Mazhab Syafi’i, hal. 18). Lalu apa yang harus dilakukan? Imam Syafi’i mengatakan, “Dan
aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya,
membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu
dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, dan amalan
yang demikian itu adalah sunnah (tuntunan Nabi).” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 247, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Madzhab Syafi’i,
hal. 27). Lihatlah keadaan sebagian orang yang mengaku bermazhab
Syafi’i di negeri ini yang tenggelam dalam penyimpangan dari Sunnah Nabi
ini, jauh sekali mereka dengan ajaran gurunya. Wallaahul musta’aan.
Dan apabila mayit telah dikuburkan maka kaum wanita dilarang sering-sering melakukan ziarah kubur. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat (dalam riwayat lain: Allah
melaknat) para wanita yang sering berziarah kubur (zawwaraatul qubur).” (HR. Tirmidzi II/156 dan Ibnu Majah I/478) (lihat Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani, hal. 179, Al Munakhkhalah, hal. 66).
Adapun
apabila hal itu dilakukan oleh kaum wanita tidak secara berulang-ulang
maka para ulama berselisih pendapat; ada yang memakruhkan (hadits di
atas adalah salah satu dalil mereka) dan ada yang membolehkan (mereka
berdalil dengan perbuatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menziarahi kuburan saudaranya Abdurrahman). ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Ya, dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkan Adz Dzahabi) (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 394)
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan
bahwa dalam masalah ziarah kubur bagi wanita para ulama terbagi menjadi
4 pendapat, ada yang mengharamkannya, ada yang memakruhkan, ada yang
membolehkan dan ada yang menyunahkannya. Dan dalam hal ini Syaikh
‘Utsaimin menguatkan pendapat yang mengharamkan.
Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama ahli tahqiq (penelitian) seperti Al Qurthubi, Ash Shan’ani, Asy Syaukani dan juga dipilih oleh Imam Al Albani (dalamAhkamul Janaa’iz,
hal. 235) ialah mengharamkan wanita sering-sering berziarah kubur namun
beliau juga mengatakan bahwa pada asalnya wanita juga disunahkan
berziarah berdasarkan keumuman hadits. Adapun teks riwayat hadits di
dalam kitab-kitab Sunan yang menceritakan bahwa Nabi melaknat Zaa’iraatul Qubur(artinya:
para wanita peziarah kubur, tidak menunjukkan makna sering) adalah
riwayat yang mungkar dan lemah karena di dalam rantai periwayatannya ada
seorang periwayat yang bernama Abu Shalih bekas budak Ummu Hani’ bintu
Abu Thalib yang bernama Badzam atau Badzan dan dia adalah periwayat yang
dha’if/lemah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaa’iz.
Larangan
lainnya adalah menyembelih hewan di atas kubur berdasarkan hadits
riwayat Abu Dawud dengan sanad shahih dari Anas bin Malik, bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada penyembelihan di atas kubur di dalam Islam.” Wallahu a’lam. (lihat Al Munakhkhalah An Nuniyah, hal. 66,Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani, hal. 179, silakan baca pula Ringkasan Hukum-Hukum Lengkap Masalah Jenazah karya Syaikh Ali bin Hasan penerbit Putsaka Imam Bukhari).
Nah,
berdasarkan hadits-hadits dan keterangan-keterangan para ulama yang
kami ketahui ini ternyata tidak disebutkan adanya larangan bagi kaum
wanita yang haidh untuk ikut berta’ziyah. Sehingga pertanyaan Bude Ukhti
tersebut sudah terjawab; bahwa sekedar mengunjungi rumah orang yang
ditimpa musibah untuk menghiburnya (ingat ya, bukan untuk
berkumpul-kumpul dan bukan untuk mengikuti jamuan makan di sana) maka
hal itu diperbolehkan bagi wanita haidh berdasarkan dalil-dalil umum
yang ada. Dan perbuatan wanita tersebut untuk tidak mengikuti sampai
pemakaman adalah sudah benar, sebagaimana penjelasannya sudah
disampaikan di depan.
Alhamdulillah.
Dan apabila ada pendapat yang lebih kuat dari pendapat ini maka kami
siap untuk rujuk kepada al haq. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk
diikuti. Wallahu a’lam bish shawaab. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
***
Penanya: Ummu Izzah
Dijawab oleh: Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi (Melalui http://konsultasisyariah.com)
Dijawab oleh: Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi (Melalui http://konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik