Baca juga tulisan menarik lainnya
batiniah. Ajaran Islam biasa dikategorikan secara umum menjadi aspek keimanan,
keislaman, dan aspek ihsan atau akhlak. Adapun ajaran Islam yang menekankan pada
aspek ibadah atau hubungan manusia dengan tuhannya, biasa juga diklasifikasikan
dalam tingkatan: syari’at, tarekat, dan hakekat.(24) Dalam hal ini, tarekat sama
maksudnya dengan syari’at, yakni suatu jalan atau cara untuk mencapai hakekat
tuhan. Namun antara keduanya berbeda di dalam orientasi untuk menuju Tuhan,
dalam hal ini tarekat mengarahkan pada dimensi lahir.
>>>Sebagaimana fungsi ajaran tarekat pada umumnya, zikir dalam tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan teknik dasar dalam ritual para
penganutnya atau latihan-latihan spiritual untuk mencapai tujuan “mengingat
Allah” (zikrullah).
Menurut Martin, praktek zikir semacam itu pada dasarnya bertujuan untuk
mencapai kesadaran kepada tuhan secara langsung dan permanen, tetapi
sama-sekali bukan untuk mencapai penyadaran diri atau peniadaan diri.(25)
Sehubungan dengan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah itu sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh
Ahmad Khatib Sambas di dalam kitab Fath al-Arifin,(26) bahwa ada tiga ritual dasar dalam tarekat sufi ini. Yang
pertama adalah membaca istigfar, yakni astagfir Allah al-Gafur ar-Rahim, dua puluh sampai dua puluh lima kali,
kemudian diikuti pembacaan salawat, yaitu Allahumma salli’ala sayyidina Muhammad wa’ala alih wa sahbih wa
sallim, dengan jumlah yang sama dengan istigfar. Yang ketiga adalah melakukan zikir dengan membaca la ilah ilaha
Allah (tiada tuhan selain Allah), sebanyak 165 kali, setelah menunaikan shalat wajib lima waktu setiap hari.(27)
Fat al-Arifin juga memberikan pengajaran untuk metode pembacaan “la Ilaha illa Allah”. Penyelenggaraan zikir
harus diawali dengan melafalkan kata “la” sembari secara serempak membayangkan bahwa kata itu diambil dari
bawah pusar ke-ubun-ubun kepala, dengan isyarat tarikan kepala ke kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik kalimat
“ilaha” ke bahu kanan, dan akhirnya dengan menggerakkan kepala ke kiri sambil menarik kalimat illallah disertai
dengan hentakan yang seolah-olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah. Zikir ini harus dilaksanakan dengan
konsentrasi pikiran penuh. Sementara rumusan la maqsud illa Allah (tiada hasrat kecuali Allah) dibaca sembari
menjaga pikiran maknanya. Kemudian terdapat tahap dimana seorang ahli membayangkan rupa syekh yang
membantunya dalam tawajjuh (meditasi atau penyatuan ekstatik), yang berarti pengarahan hati terhadap tuhan, pada
saat yang sama memohon rahmat dan petunjuk-Nya. Jika syekh benar-benar hadir di hadapannya selama beberapa
detik, jika syekh tidak hadir, dia harus membayangkan rupa syekh dalam mata batinnya dan mencari bimbingan
spiritualnya. Kemudian disebutkan bahwa zikir ini dikenal dengan zikr nafi isbat (zikir penyangkalan penegasan), dan
dipraktekkan secara jahr (suara keras) dan sirr(dalam hati).(28) dan mengucapkan terima kasih kepadanya dalam
hati, seraya membayangkan bagaimana karunia Allah dilimpahkan melalui Nabi dan Syeikh kepadanya.
Setelah menyelesaikan zikir menurut jumlah yang ditentukan, kemudian membaca “sayyidina Muhammad Rasul
Allah salla Allah alayh wa Sallam” (penghulu kita Muhammad adalah Rasulullah, yang Allah berkati dan beri
keselamatan). Kemudian membaca salawat, yaitu, “Allahumma salli ala sayyidina Muhammad salatan tunjina biha
min jami’ al-ahwal wa al-afat” (Ya Allah berkatilah penghulu kami Muhammad yang dengan beliau engkau
menyelamatkan kami dari segala bencana dan kehancuran), ritual ini diakhiri dengan membaca Surat al-Fatihah.(29)
Martin menunjukkan bahwa ritual dasar ini betul-betul dipengaruhi oleh tarekat Qadiriyah, terutama berkenaan
dengan gerakan-gerakan tubuh ketika melakukan zikir. Pengaruh tarekat Naqsyabandiyah atas ritual ini juga
substansial. Pengaruh pertamanya adalah atas konsentrasi tentang lata’if, yakni organ-organ fisik dengan mana
manusia dilengakapi demi pelaksanaan zikir. Martin berpendapat bahwa lata’if yang digunakan Syeikh Ahmad Khatib
Sambas dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tidak dikenal dalam tarekat Qadiriyah, bahwa istilah tersebut
dipinjam dari tarekat Naqsyabandiyah.
Fat al-‘Arifin (Kitab Fathul Arifin) menggambarkan sepuluh lata’if (latifah). Lima di antaranya adalah qalb(hati)
, ruh(ruh), sirr (batin), khafi (rahasia) dan akhfa’ (paling rahasia) dan yang dikenal sebagai alam al-amr (Alam
perintah). Lima lata’if yang lain adalah nafs (kelembutan jiwa) dan empat unsur: air. Udara, tanah, dan api. Ini
disebut alam al-khalq (Alam ciptaan).(30)
Di bawah ini adalah terjemahan dari Fat al-Arifin tentang lata’if yang dikutip oleh Al-Attas:
. . .kelembutan hati (latifah al-qalb) ada di bawah dada kiri, dua jari ke kiri, dan warnanya adalah kuning, dan ia adalah
tempat kewenangan penghulu Adam, asalnya adalah air, udara, dan tanah. Kelembutan ruh(latifah al-ruh) terdapat di
bawah dada kanan, dua jari ke kanan, warnanya adalah merah, dan ia merupakan tempat kewenangan penghulu kita
Ibrahim dan Nuh, dan asalnya adalah api. Kelembutan batin (latifah as-sirr) terletak berlawanan dengan dada kiri, dua
jari kearah dada, warnanya adalah putih, ia adalah tempat Musa dan asalnya adalah air. Kelembutan rahasia (latifah
al-khafi) berlawanan dengan dada kanan, dua jari kearah dada, warnanya adalah hijau, tempat nabi Isa, dan asalnya
udara. Kelembutan paling rahasia (latifah alakhfa)terletak ditengah dada, warnanya hitam, ia adalah tempat nabi
Muhammad, dan asalnya adalah tanah. Kelembutan jiwa (otak) latifah an-nafs an-natiqah terletak di dahi dan seluruh
kepala.(31)
Syeikh Ahmad Khatib Sambas qs. mengajarkan zikir jahr (zikir yang diucapkan) dan zikir sirr atau khafi (zikir diam).
Praktek zikir diam ini jelas adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah, oleh karena tarekat Qadiriyah hanya
mengajarkan zikir keras. Pengaruh kuat lainnya dari tarekat Naqsyabandiyah adalah tawajjuh atau rabitah Syeikh
sebelum atau selama zikir. Muraqabah atau kedekatan spiritual, yang dijelaskan dalamFat al-Arifin, adalah pengaruh
lain dari tarekat Naqsyabandiyah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pengaruh yang sangat nyata dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlihat
pada daftar silsilah dalam Fath al-Arifin, karena hanya silsilah tarekat Qadiriyah yang didaftar.Silsilah tarekat
Naqsyabandiyah tidak disebutkan. Pengaruh lainnya dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, terutama
dalam manaqiban.(32) biografi Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani selalu dibacakan, sedangkan biografi Syeikh Baha ad-Din
an-Naqsyabandi tidak pernah dibacakan. Tampaknya, ini menjadi indikasi kuat bahwa tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah secara mendasar merupakan tarekat Qadiriyah digabungkan dengan praktek-praktek tertentu dari
tarekat Naqsyabandiyah.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik