Baca juga tulisan menarik lainnya
menampakkan variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung
dari interaksi Islam dengan struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi,
Islam sebagai doktrin dan pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai
persoalan yang timbul, sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman
yang ideal dan terbaik. Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima
masukan dan pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan
dan penafsiran yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur
masyarakat yang demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya
mempengaruhi corak perwujudan Islam itu sendiri.(1)
Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam
menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam
bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan
momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran serta merumuskan
karakteristik gerakannya.
Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya.
Sebagai bagian dari bentangan altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah
kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas keberagaman yang menekankan komunikasi langsung
dengan Allah. Ia meliputi sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang berpandu pada ranah
emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam,
utamanya dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan dan peningkatan kualitas spiritual.
Perkembangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim terhadap agamanya yang terkait
dalam konfigurasi kolektif. Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan
mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan
akhlak mulia dan penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan diwujudkan dalam
bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada Allah(2). Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan
aspek batin dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku
yang muncul dari padanya. Hal yang demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam
struktur hukum (fiqh).
Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya
yang ada di wilayah teritori Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan pada “philosophical
system”, melainkan “the way of purification” (jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada
kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi
guru murid. pertama menjadi sumber reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi pengikat.(3)
Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi
dasar pembentukan tarekat.(4) Khanaqah dan Ribath(5) berkembang di mana-mana. Setiap tokoh memiliki khanaqah masing-
masing.
Pada sisi lain, dengan pertumbuhan komunitas sufi yang berkumpul di sekitar masternya, sikap para ulama hukum (fiqh)
mengalami perubahan mendasar. Kalau semula model sufisme dianggap sebagai gerakan yang menyimpang dan bertentangan
dengan kebenaran Islam, berbagai kejadian konflik juga menghiasi kontak antara sufisme dan legalisme, pandangan dan sikap
ulama berangsur-angsur berubah dan dapat menerima kehadiran komunitas tasawuf sebagai bagian dari kekayaan khazanah
Islam. Al-Ghazali sangat berjasa dalam meletakkan kompromi dan jalan tengah pertemuan antara dua kutub yang saling
bertentangan.(6) Pada sisi lain, kehadiran komunitas sufi semakin memberikan arti dan mendapatkan sambutan dari masyarakat
karena mereka merasa mendapatkan kedamaian jiwa ditengah persoalan politik yang mengganggu peri kehidupan mereka.(7)
Perkembangan tarekat semakin pesat memasuki abad 12 dan 13 M, tarekat menjadi institusi yang prestisius dan signifikan dalam
peta perkembangan dan sejarah Islam. perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu
kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah
ditentukan oleh pemimpin organisasi tersebut.(8) Ada beberapa tarekat berdiri dan mengembangkan sayapnya ke-berbagai daerah,
perkembangan tarekat itu antara lain diwakili oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi, yang darinya nama tarekat Suhrawardiyah diambil.
Al-Qadir al-Jilani; yang ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah; Najmuddin Al-Kubra, seorang tokoh sufi Asia Tengah yang
produktif, pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah pada masa belakangan;
Naqsyabandiyah sudah menjadi tarekat yang khas pada masa sufi yang memberi namanya, Baha’uddin Naqsyaban; anumerta
pendiri tarekat Syattariyah, Abdullah Al-Syattar; dan tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i.(9)
Perkembangan tarekat di Indonesia terus berlangsung sampai abad ke-19 sekalipun pemerintah Kolonial melakukan pengawasan
yang ketat terhadap aktivitas para pengamal tarekat. Salah satu yang muncul di Indonesia pada abad ke-19 ialah tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah.
Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menekankan segi-segi batiniyah dari agama ini telah memainkan peranan
yang amat penting dalam sejarah islamisasi. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat
Indonesia.(10) Tarekat ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar yang berkembang di Nusantara, yaitu tarekat
Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Suatu hal yang biasa dalam sejarah sufisme bahwa beberapa ulama mempraktekkan
ajaran-ajarannya dari dua atau lebih tarekat yang berbeda. Demikian pula di Indonesia, tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah tidak
hanya sebuah kombinasi antara dua tarekat yang berbeda yang dipraktekkan secara bersama-sama, tetapi agaknya ia sendiri
merupakan sebuah tarekat sufi baru.(11)
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya,
terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah
tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efesien. Karena ajaran
dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan perkataan para ulama arifin dari kalangan Salafus
Shalihin.
Di Indonesia, diyakini bahwa Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah pertama kali diajarkan
oleh Syeikh Ahmad Khatib Ibn’ Abd Al-Ghaffar dari Sambas Kalimantan Barat yang
bermukim dan mengajar di Mekkah pertengahan abad 19 dan wafat di sana pada tahun
1878.(12) Berbeda dengan guru-guru tarekat yang lain, yang mngajarkan berbagai tarekat
di samping Qadiriyah, Syeikh Ahmad Khatib tidak mengajarkan kedua tarekat ini secara
terpisah, tetapi sebagai suatu kesatuan yang harus diamalkan secara utuh. Syeikh Ahmad
Khatib Sambas terkenal sebagai pemimpin sebuah tarekat sufi dan merupakan pakar dalam
sufisme, tetapi di samping itu ia adalah seorang cendikiawan Islam yang menguasai
berbagai lapangan pengetahuan Islam seperti Al-Qur’an, Hadist (tradisi Nabi), dan Fiqh
(hukum Islam), dan menyalurkan pengetahuannya kepada banyak pelajar di Mekkah.(13)
Dia memperoleh pengetahuan yang luas setelah belajar secara tekun sebagaimana
diketahui bahwa setidaknya dia memiliki sembilan guru kenamaan di Mekkah yang
menguasai bermacam-macam cabang pengetahuan Islam.(14)
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil (guru sufi paling sempurna) Syeikh
Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi
tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan
untuk itu, bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas
ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekkah dan Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat
bai’at88 dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah dan mengajarkan kepada murid-muridnya khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan kedua tarekat (Qadiriyah-Naqsyabandiyah) memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dzikir dan
metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari’at dan
menentang faham wihdatul wujud.(15) Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai
derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efesien. Disinyalir tarekat ini tidak
berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Tarekat Naqsybandiyah. Tetapi
ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah saja, sampai sekarang belum ditemukan secara pasti dari
sanad mana ia menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas atas masalah ini, maka penting untuk didaftarkan silsilah dari
tarekat sufi ini sampai pada Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Allah dan Jibril disebutkan dalam silsilah ini; kemudian
diikuti oleh:
Nabi Muhammad Saw
‘Ali Ibn Abi Talib
Husayn Ibn Ali Talib
Zayn al-‘Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far as-Sadiq
Musa al-Kazim
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Musa ar-Rida
Ma’ruf al-Karkhi
Sari as-Saqati
Abu al-Qasim Junayd al-Bagdadi
Abu Bakar asy-Syibli
‘Abd al-Wahid at-Tamimi
Abu al-Faraj at-Tartusi
Abu al-Hasan ‘Ali al-Hakkari
Abu Sa’id Makhzumi
Abd al-Qadir al-Jilani
Abu al-‘Aziz
Muhammad al-Hattak
Syams ad-Din
Nur ad-Din
Waly ad-Din
Husam ad-Din
Yahya
Abu Bakr
Abu ar-Rahim
Usman
Abd al-Fattah
Muhammad Murad
Syams ad-Din
Ahmad Khatib Sambas.(16)
Sebagai seorang guru, Ahmad Khatib Sambas mengangkat khalifah. Seorang murid yang telah mencapai taraf tertentu, menurut
ukuran normatif seorang Syeikh, mendapat kewenangan untuk bertindak menjadi Syeikh. Di antara khalifah Syeikh Sambas di
Indonesia, ada tiga orang yang dipandang menonjol: Syeikh Abdul Karim dari Banten, Syeikh Ahmad Hasbullah ibn
Muhammad dari Madura, dan Syeikh Tolha dari Cirebon. Ketiganya dianggap sebagai orang yang paling berjasa
dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Madura.
Di antara jasa para khalifah dalam penyebaran tarekat adalah perkembangannya yang mencapai beberapa negara tetangga,
terutama Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam. Berjuta-juta pengikutnya tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan beberapa
negara ASEAN lainnya.(17) Proses penyebarannya khas, sebagai gerakan spiritual, telah membentuk pola ideologi para ikhwan
jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam warna tersendiri. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menjadi salah satu
aliran yang sangat terkenal di Indonesia. Ia dianggap tarekat terbesar dan terpopuler, terutama di pulau Jawa. Tarekat ini memang
tidak dikenal di dunia Islam, selain di Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya, hanya dikenal adanya Tarekat Qadiriyah dan
Tarekat Naqsyabandiyah di samping ratusan tarekat lainnya.(18)
Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat
penting, adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai
pendiri, tetapi para pengikut kedua tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda, dan terus berjuang melalui
gerakan sosial keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Secara historis, usaha penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia diperkirakan sejak paruh abad ke-19, yaitu
sejak kembalinya murid-murid Syeikh Khatib al-Sambasi ke tanah air, setelah bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah. Di
Kalimantan, misalnya, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah disebarkan oleh dua orang ulama, Syeikh Nuruddin dan Syeikh
Muhammad Sa’ad. Karena penyebarannya tidak melalui lembaga pendidikan formal (seperti pesantren atau lembaga-lembaga
formal lainnya), sebagian besar pengikutnya datang dari kalangan tertentu. Berbeda dengan Kalimantan, Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Jawa disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin langsung oleh ulama tarekat.
Oleh karena itu, kemajuan yang sangat pesat hingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan paling berpengaruh di
Indonesia.(19)
Pada tahun 1970, ada empat pondok pesantren yang penting sebagai pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
pulau Jawa yaitu: Pondok pesantren Mranggen di Semarang, di bawah bimbingan Syeikh Muslih. Pondok pesantren Rejoso di
Jombang, di bawah bimbingan Syeikh Romli Tamim, di Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah. Pesantren Pagentongan di
Bogor, di bawah bimbingan Syeikh Thohir Falak, dan Pondok pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, di bawah bimbingan
Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), di Suryalaya dan yang lainnya mewakili garis aliran Syeikh Abdul-
Karim Banten dan penggantinya.(20)
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut juga berkembang di daerah Banten. Keberadaan tarekat tersebut di daerah Banten
dibawa oleh K.H. Abdul Karim pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh dan kharisma yang dimilikinya, memungkinkan tarekat ini
memiliki pengikut yang sangat besar, terutama sekali di Banten.
Aliran Qadiriyah diperkirakan memasuki Banten pada abad ke-16 Masehi yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri. Akan tetapi
ketika itu belum mencapai momentum yang vital. Pada perkembangan selanjutnya, aliran Qadiriyah dengan jelas menandakan
suatu kebangkitan Islam dalam arti yang sesungguhnya.(21) Banten telah mengadakan kontak dengan Mekkah sejak pertengahan
abad ke-19, dengan jalan mengirimkan berulangkali misi-misi untuk mencari informasi mengenai soal-soal keagamaan. Banten
terkenal sebagai sebuah pusat Islam ortodoks, pengetahuan tentang agama dan cara hidup yang sesuai dengan ketentuan agama
sangat dihargai.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten pada abad ke-19, dapat dipandang sebagai kelompok yang
melibatkan komitmen total baik pemimpin dan anggota-anggotanya. Karena kedudukan dan kewibawaannya, maka para kyai
tampil sebagai pimpinan yang kharismatik sehingga anggota-anggota tarekat yang tergabung di dalamnya sangat menghormati
dan patuh terhadap gurunya.
Perkembangan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, yang sebagian besar para pengikutnya adalah petani, dapat
dikategorikan menempuh tahap thaqah (pusat pertemuan sufi). Dalam tahap tersebut, Syeikh mempunyai sejumlah murid yang
hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat.(22) Para petani yang mengikuti ajaran tarekat, pada umumnya tetap
bekerja sebagaimana biasa, namun ada waktu tertentu bagi mereka untuk berkumpul bersama dalam mengikuti ajaran tarekat
yang diajarkan oleh kyai.
Sebagaimana di ketahui dalam sistem kehidupan masyarakat tradisional, unsur mitos dan kepercayaan kepada kekuatan
supernatural, kekeramatan masih kuat di anut. Karena itu kewibawaan seorang kyai, tokoh kharismatik bagi masyarakat Islam
tradisional, tidak bisa dipisahkan dari unsur kekeramatan. Di samping itu, sebagai pemimpin keagamaan masyarakat tradisional,
kyai menjadi tokoh sentral kepatuhan, panutan masyarakat dalam mekanisme kehidupan sosial, budaya bahkan tidak jarang ia
memainkan peranannya sebagai tokoh politik
Di Banten Syeikh Abdul Karim memiliki seorang khalifah yang bernama kyai Asnawi dari Caringin, yang kharismanya telah
dimanfaatkan oleh para pemberontak komunis di Banten pada tahun 1926.(23) Dan dilanjutkan oleh putranya, kyai Kazhim, yang
mengajarkan tarekat ini di Menes (Labuan).(24) Pengajaran tarekat ini sekarang dilaksanakan oleh putra kyai Kazhim yang bernama
Ahmad. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga masih berkembang di Cibeber (Cilegon) yang pada waktu lalu diajarkan oleh
Abd Al-Lathif bin Ali, sedang mursyidnya sekarang ialah kyai Muhaimi yang menerima ijazah melalui kyai Asnawi. Hingga akhir
tahun 1988 kemenakan kyai Asnawi yang bernama kyai Armin masih menjadi khalifah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terkenal di
Cibuntu (Pandeglang). Meskipun pertama kali mempelajari tarekat dari pamannya, kyai Armin mengaku telah belajar dari beberapa
ulama di Mekkah dan Baghdad.
Sumber dan Keterangan :
(1) Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm. 13-14.
(2) Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 29.
(3) M. Fudoli Zaini, “Asal-usul Tarekat dan Penyebarannya di Dunia Islam, dalam Akademika, Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
(4) Adapun yang mendorong lahirnya tarekat menurut Barmawie Umarie ada tiga hal yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya
memang ada bakat mengarah kepada kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang anarkhis, misalnya akibat revolusi,
kesewenangan kedhaliman dan sebagainya, yang kemudian mereka memilih kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau
sekaligus gerakan tarekat dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi situasi itu; karena orang jemu terhadap kemewahan dan
kemegahan dunia. Lihat Barmawie Umarie, “Sistematika Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm. 116-117. Lihat juga hasil penelitian
Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kedungparuk Banyumas”, Kajian Historis dan Sosiologis, hlm. 2-4.
(5) Hanaqah merupakan tempat pertemuan para anggota sufi dengan dipimpin oleh seorang administrator. Sedangkan ribaht itu
merupakan pembinaan spiritual di bawah bimbingan seorang guru sebagai model bangunannya yang relatif besar. Istilah-istilah itu
merupakan padepokan sufi atau tempat pembinaan kerohanian masyarakat dalam kontek dunia Islam. Abubakar Aceh, Pengantar
Ilmu Tarekat, hlm. 65.
(6) Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: Jambatani, 1993), hlm. 1209.
(7) M. Hasbi Amiruddin, “Tarekat: Sejarah Masuk dan Pengaruhnya Di Indonesia”, dalam Madaniya, No. 2. 2002, hlm. 15.
(8) Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 135.
(9) Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188.
(10) Mahmud Suyuti, Politik Tarekat, hlm. 54.
(11) Zulkifli, Sufi Jawa: Relasi Tasawuf-Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 37-36.
(12) Mahmud Sujuti, Politik Tarekat, hlm. 52.
(13) Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 17-18.
(14) Kesembilan guru tersebut adalah: Syekh Dawud Ibn Muhammad al-Fatani; Syekh Syam ad-Din; Syekh Muhammad Salih Ra’is;
Syekh Umar Abd ar-Rasul; Syekh Abd al-Hafiz ‘Ajami; Syekh Basir al-Jabiri; Sayyaid Ahmad al-Marzuki; Sayyid Ahmad al-Marzuki;
Sayyid Abd Allah al-Mirgani; dan Syekh ‘Usman ad-Dimyati. Lihat Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 38-39.
(15) Bai’at dalam terminologi sufi ialah janji setia yang biasanya diucapkan oleh seorang murid di hadapan mursyid untuk
menjalankan segala persyaratan yang telah ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syarat
Islam. Yang menjadi landasan normative ialah surat Al-Fath ayat 10. Bai’at dijadikan acara ritual resmi setelah seseorang menjadi
anggota tarekat, yang selanjutnya dijadikan bentuk ikatan setia kepada mursyid dan ajaran-ajarannya. Lihat Bai’at dan Tawassul,
tanggal akses 20 Maret 2004.
(16) Ajaran Wihdatul Wujud ini dicetuskan oleh Ibnul Araby (1165-1240), yang berpendapat bahwa alam ini hanya merupakan
bayang-bayang dari realitas yang berada di baliknya. Ajaran ini merupakan pengembangan dari ajaran Al-Hallaj (wafat 921) yang
memandang manusia sebagai manifestasi dari cinta tuhan yang azali kepada zatnya, Al-Hallaj ini dalam keadaan tak sadar atau fana,
sering menyatakan dirinya Tuhan. Ana-Allah, Anal-Haq. Tim penulis, Ensiklopedi Islam, jilid II (Jakarta: Penerbit Jambatani, 1993),
hlm. 339-340.
(17) Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 42-43. Lihat juga dengan Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90-91.
(18) Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 100.
(19) Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 14. Lihat juga Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 98.
(20) Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, hlm. 103.
(21) Lihat Ibid.
(22) Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam, hlm. 265.
(23) Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1996), hlm. 366.
(24) Mengenai pemberontakan ini, lihat William, Arit dan Bulan Sabit dalam Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, (Yogyakarta)
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik