Selasa, 12 Februari 2013

Kitab kuning dalam peradaban nya

Baca juga tulisan menarik lainnya

Himpunan Santri alumni Brabo


Sejauh bukti-bukti historis yang tersedia, sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa Kitab Kuning menjadi text books,
references, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, baru dimulai pada abad ke-18 M:
Bahkan, cukup realistik juga memperkirakan bahwa pengajaran Kitab Kuning secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada
pertengahan abad ke-19 M ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di Makkah.
Perkiraan di atas tidak berarti bahwa Kitab Kuning, sebagai produk intelektual, belum ada dalam masa-masa awal perkembangan
keilmuan di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16 M, sejumlah Kitab Kuning, baik dengan
menggunakan bahasa Arab” bahasa Melayu, maupun bahasa Jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi dan kajian
mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan corak keilmuan yang dicerminkan Kitab Kuning, betapapun
juga, tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang, kira-kira sejak lima abad sebelum pembakuan
Kitab Kuning di pesantren-pesantren.
Acapkali dipertanyakan mengapa, misalnya, hanya fiqih, ushuluddin, tasawuf, tafsir, hadis, dan bahasa Arab yang menjadi
disiplin ilmu utama di pesantren-pesantren? Tentu saja,jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa dirumuskan secara memuaskan
bila mempertimbangkan perkembangan intelektual Islam Nusantara sejak periode awal pembentukannya. Bagaimanapun juga,
pembakuan Kitab Kuning di pesantren sangat berkaitan dengan tradisi intelektual Islam Nusantara kurun awal.
Asal-usul dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah
sarjana dan pengamat yang menekuninya. Di antara mereka -untuk menyebut beberapa nama adalah Taufik Abdullah,
Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, AbdurrahmanWahid, dan Azyumardi Azra. Dalam berbagai karyanya, masing-masing
intelektual itu memberikan analisis dan penilaian atas masalah ini.
Walaupun berbeda rumusan karena perbedaan pendekatan yang digunakan, hasil kajian mereka agaknya memperlihatkan
kecenderungan yang sama dalam mempertimbangkan dua faktor penting, yakni 1) kontak ulama Nusantara dengan ulama Timur
Tengah seba- gai bagiandari proses internasionalisasi Islam, dan 2) interaksi (ketegangan) budaya Islam dengan budaya lokal
sebagai konsekuensi logis dari proses Islamisasi Nusantara. Kedua faktor ini berperan dalam membentuk dan inewarnaitorak
keilmuan Islam Nusantara seperti, antara lain, tercermin dalam tradisi pendidikan pesantren, khususnya di Jawa.
Dalam penelusurannya yang bersifat sosio-historis, TaufikAbdullah menangkap lima gelombang pemikiran keislaman Nusantara.
Gelombang-gelombang itu dimaksudkan sebagai pola hidup keberagamaan (Islam) yang mencerminkan pandangan keislaman
secara kolektif dan permanen di masa tertentu, tidak individual dan tidak fragmentaris. Karenanya, terhadap kelima gelombang itu,
ia tidak memberikan label yang ketatberkenaan dengan disiplin-disiplin keilmuan, kecuali sekadar menyebutkan tekanan-
tekanannya saja. Sebaliknya, ia menerangkan perkembangan sikap umat (community)dalam memperlakukan Islam sebagai jalan
hidup, termasuk dalam kaitan- nya dengan kekuasaan.
Gelombang pembentukan pemikiran Islam, yang disebut gelombang pertama oleh Taufik Abdullah, baru berlangsung di
Nusantara sepanjang abad ke-13 M sampai dengan abad ke-16 M. Dari bukti- bukti yang dapat dipercaya, baik dalam bentuk batu
nisan di Samudeta Pasai, buku-buku sejarah tradisional semisal Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, maupun laporan-
laporan pengelana asing, seperti Marco Polo dan Ibnu Batutah, dapat dipastikan bahwa kekuatan Islam sudah hadir pada abad
ke-13 M di ujung Pulau Sumatera (Samudera Pasai). Meskipun demikian, sampai abad ke-14 M, kekuasaan itu belum tampil
sebagai hegemoni politik paling berpengaruh dan masih kalah jauh dari kekuasaan Hindu-Budha, Majapahit, yang pada waktu itu
telah berdiri di ujung timur pulau Jawa. Barulah pada pertengahan abad ke-15 M dan awal abad ke-16 M, kekuasaan Islam
memegang hegemoni politik terbesar di Nusantara melalui kerajaan Malaka yang telah memeluk Islam-di wilayah-wilayah
perairan (maritim).
Yang terpenting dari gelombang ini adalah bahwa Islam sudah tampil tidak hanya sebagai agama dan komunitas, tetapi sudah
menjadi kekuatan yang berpengaruh di hadapan tradisi lokal Hindu-Budha. Internalisasi ajaran Islam telah sampai pada tahap
yang cukup ekspresif dan demonstratif. Islam dan komunitasnya sudah merasa beda dari non-Islam, kafir, yang telah hadir
sebelumnya. Dalam gelombang ini pula, pandangan dan pemikiran keislaman yang berkembang sudah sangat mendasar, seperti
menyangkut batas-batas antara dunia dan akhirat dan antara dunia kini yang haqq, dan dunia lama yang kafir: Prinsip-prinsip
kosmopolitanisme Islam berarti bahwa semenjak gelombang ini sudah mulai diletakkan dengan cara merujukkan kultur
kehidupan umat Islam Nusantara dengan kultur Islam yang universal. Penerjemahan syair-syair pemujaan atas Nabi Muhammad
saw. (barzanji) dan mitos-mitos Islam, baik dari Arab maupun dari Parsi ke dalam buku-buku sejarah Melayu -yang kemudian
diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Jawa -merupakan salah satu capaian intelektual Islam penting dalam gelombang ini.
Gelombang kedua dimulai sebagai kelanjutan atau konsekuensi dari capaian gelombang pertama. Ajaran-ajaran Islam,
sebagaimana diajarkan teks-teks resmi, terus merambat dalam kehidupan masyarakat luas dan kemudian menggantikan agama-
agama masyarakat (folk-religions). Kontemplasi atau renungan yang mempersoalkan manusia dalam kaitannya dengan Yang
Mahatinggi dan Mahaabadi dimulai dalam gelombang ini. Puncaknya adalah kontemplasi Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumantrani di Sumatera, dan Syaikh Siti Jenar di Jawa, sebelum akhirnya masing-masing dibantai oleh Nuruddin ar-Raniri dan
Walisongo.
Semenjak gelombang ini, perumusan menyangkut otoritas dan landasan kekuasaan Islam sudah dimasukkan dalam agenda kerja
intelektual. Di Aceh, misalnya, pada tahun 1603 M, Bukhari al-J auhari sudah menulis Taj as-Sazathin (Mahkota Raja-raja), yang
merupakan teks teori kenegaraan paling awal dan penting di Nusantara. Pandangan yang ditawarkannya selaras dengan teori-
teori kenegaraan Sunni tradisional. Dalam bahasa Taufik Abdullah, “peranan Taj as-Salathin [adalah] sebagai pemula ke arah
terumuskannya ‘ortodoksi kraton’ di Nusantara.”
Penting untuk dicatat bahwa, karena observasinya bersifat sosiohistoris dan umum, Taufik Abdullah seringkali gagal menangkap
denyut intelektual murni, khususnya yang berlangsung dalam gelombang ini. Misalnya saja, ia tidak menyebut jaringan intelektual
(intellectual networks) antara ulama Indonesia dengan ulama Timur Tengah. Dalam hal ini, temuan Azyumardi Azra sangat
signifikan, yakni bahwa hubungan guru-murid telah dibangun pada abad. ke-17 M di Hijaz antara ulama Timur Tengah, Ahmad
al-Qushashi dan Ibrahim al- Kurani, dengan ulama (murid) Jawi, ‘Abdur Ra ‘uf as-Sinkili. Bahkan, jauh sebelum itu, masyarakat
Makkah dan Madinah telah mengenal masyarakat “Jawi di Tanah Suci.” Tentu saja, kontak internasional seperti ini menjadi pintu
masuk bagi Kitab Kuning asal Timur Tengah yang pada akhirnya memberikan arti tersendiri bagi perkem- bangan intelektual
Islam di Nusantara.
Pada paruh kedua abad ke-18 M, gelombang intelektual ketiga kemudian muncul dalam bentuk intensifikasi penyelarasan
keyakinan agama dengan tata kehidupan sosial. Fiqih, hukum-hukum Islam, yang menggantikan kontemplasi sufistik, menjadi
perhatian utama untuk “memaksa” lebih jauh penyesuaian kecenderungan folk-religions ke dalam keharusan Islam, official
religions. Benih penyesuaian ini ditanam oleh ar-Raniri dengan menyebutkan asma Allah dalam setiap permulaan teks-teks
hikayatnya. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dalam buku Sirath al-Mustaqim, yang kemudian diolah-ulang oleh Syaikh Arsyad al-
Banjari. Gelombang ini diwarnai, antara lain, oleh Wahabisme gerakan Paderi dan karya-karya ortodoksi Kemas Fachruddin di
Palembang. Pada tahap ini, intelektualisme Islam memasuki masa purifikasi, pemurnian, yang berarti meninjau kembali pola
penganutan Islam yang berkembang di masa-masa sebelumnya. Selain itu, gelombang ketiga ini juga diwarnai oleh
kecenderungan kuat institusionalisasi pemikiran sufistik dalam bentuk tarekat -tarekat sebagai kelanjutan dari upaya pengikisan
pemikiran sufi yang menyimpang (heterodoks). Dengan kata lain, gelombang intelektual Islam Nusantara sepanjang abad ke-18 M
dan ke-19 M menampakkan dua wajah pertentangan (konflik): pertama, antara penekanan dan keharusan berlakunya
pertimbangan syari’ah dan fiqh dalam bidang kehidupan sosial dan pribadi, dengan institusionalisasi sufisme. Konflik semacam
inilah, umpamanya, yang terjadi dalam perdebatan antara Syaikh Ahmad dengan para guru tarekat; kedua, antara kecenderungan
guru sufistik dan tarekat yang “heterodoks” dengan yang “ortodoks.” Salah satu konflik yang paling intens adalah antara tarekat
Syattariyah dengan Naqsyabandiyah.
Yang menarik untuk dicatat berkaitan dengan kajian ini adalah bahwa, di balik dua pergolakan itu, pesantren tengah memasuki
proses penyebaran yang cukup cepat. Tanpa menyebut contoh-contoh kongkret, diakui oleh Taufik Abdullah bahwa tradisi
pesantren di masa itu makin kuat dan jaringan guru-murid yang menjadi landasan kelembagaan semakin berakar. Pada tahap ini
pulalah pembakuan Kitab Kuning mulai terjadi di hampir seluruh pesantren Nusantara. Dengan pengakuan ini, Taufik Abdullah
tampaknya ingin mengatakan bahwa perkembangan pesantren berkaitan erat dengan proses pelembagaan tarekat-tarekat dengan
warna syari’ah yang kuat ( ortodoks) sebagai bias dari “penetrasi ” gerakan syari’ah-minded yang dilancarkan kelompok puritan.
Dalam posisi seperti itu, tampak bahwa pesantren sangat unik dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan menganggapnya
sebagai benteng tarekat, atau sebagai pendukung fiqih, atau sebagai penentang gerakan puritan-pambaharuan. Agaknya, ada
peranan sintesis yang dilakukan pesantren di tengah-tengah pergumulan tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi,
dan gerakan fiqih versus gerakan tasawuf di sisi lain. Dalam situasi seperti ini, yang lebih penting lagi adalah bahwa kontroversi
keagamaan yang terjadi telah melahirkan khazanah pemikiran dan renungan keagamaan (terutama dalam bidang fiqih, hadis, dan
tafsir) -suatu khazanah yang menyebabkan Nusantara, seperti dikatakan Johns, harus diperhitungkan dalam “peta pemikiran
Islam.”
Kemudian, muncul gelombang keempat yang menerima pengaruh kuat dari gelombang ketiga. Kristalisasi norma-norma dalam
bentuk fiqih, ditambah dengan institusionalisasi sufistik yang berhasil diberlakukan dalam wilayah (umat) yang sangat luas, harus
berha- dapan dengan “keraton” yang cenderung berada dalam kungkungan dominasi asing, kafir. “Ketegangan” tidak bisa
terelakkan antara ulama dengan penguasa, dan antara pesantren dengan keraton. Disintegrasi ini pada dasarnya mencerminkan
“kebangkitan” politik (kekuasaan) Islam, dan situasi inilah yang memacu. upaya penerjmahan pengalaman observasi politik ke
dalam pemikiran dan kegiatan keagamaan. Termasuk bagian dari pengalaman dan observasi itu adalah gerakan Pan-Islamisme
yang berupaya mewujudkan komunitas politik Islam dalam skala global. Percobaan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi
perjuangan politik versus Barat dan “keraton,” dengan demikian, telah menjadi perhatian utama gelombang ini.
Ujung dari perjuangan untuk mengentaskan kembali Islam dari keterjajahan adalah, antara lain, lahirnya gerakan “reformis
modern” yang menandai munculnya gelombang kelima, yakni gelombang ter-akhir dalam sketsa Taufik Abdullah. Berkembang
dalam kompleksitas masyarakat dan dalam ketersediaan media cetak, gelombang ini di- gerakkan oleh dua hal: pertama, lahimya
organisasi-organisasi sukarela yang. berdiri di atas kesamaan kecenderungan kultural-agama dan aspirasi sosial; dan, kedua,
tersedianya media cetak, selain media oral, yang berfungsi menyebarkan pandangan dan pemikiran keagamaan.
Sistematisasi gerakan Islam tidak saja teljadi dalam lingkup instrumental, lembaga, tetapi juga dalam lingkup konsep, gagasan.
Misalnya saja, ketersediaan media cetak sebagai salah satu instrumen komunikasi sekaligus bisa niendorong lebih luas penyebaran
karya-karya terjemahan, yang ikut menyulut semangat keagamaan, terutama di masa pascakemerdekaan:Perkembangan massif
Kitab Kuning di pesantren juga didukung oleh situasi seperti ini.
Beberapa catatan mungkin bisa dibuat dari sketsa TaufikAbdullah di atas. Pertama, akar terdalam dalam tradisi intelektual Islam di
Indonesia tampaknya adalah pemikiran sufisme yang, sayang sekali, tidak mencapai perkembangan terjauhnya dalam wujud
wacana-wacana intelektual (intellectual discourses ), melainkan lebih dalamwujud perilaku-perilaku moral, tarekat (thariqah ), dan
tasawuf praktis (tashaw- wuf ‘amalf) .Dengan demikian, tasawuf yang berkembang di Indonesia, termasuk di pesantren hingga
dewasa ini, adalah tasawuf yang sudah kehilangan dimensi filosofisnya, tasawuf yang sudah “mati.”
Kemudian, salah satu fase terpenting dalam perkembangan intelektual Islam di Indonesia adalah intensifikasi pemikiran dan
gerakan ortodoksi yang mungkin mencapai mementumnya -seperti terekam dalam catatan sejarah selama ini -pada akhir abad
ke-19 M. Dalam sejarah Islam, ortodoksi sendiri, mentirut beberapa pengamat, sebetulnya sudah dirumuskan pada abad ke-11 M
ketika al-Ghazali mensintesiskan pemikiran Islam “ultra-tradisionalis” yang berkembang di bawah pengaruh Ahmad bih Hanbal,
dengan pemikiran “ultra-rasionalis” Mu’tazilah yang menerima pengaruh pemikiran Hellenisme. Sementara itu, ortodoksi yang
berkembang di Indonesia agaknya lebih cenderung kepada ortodoksi yang berasal dari gerakan Wahabi, suatu gerakan
neo-”ultra-tradisionalis,” yang kurang (atau tidak) memberi tempat bagi filsafat.dan peran akal (‘ aql) dalam pemikiran keagamaan.
Artinya, ortodoksi yang berkembang di Indonesia adalah ortodoksi pasca-al-Ghazali yang sudah dijinakkan sisi filosofis-nya,
ortodoksi yang “mati.” Dengan demikian, pergulatan yang terjadi antara tasawuf dan ajaran ortodoksi dalam sejarah pemikiran
Islam di Indonesia pada dasarnya adalah pertarungan dua gerakan yang sama-sama sudah kehilangan dimensi rasionalitasnya
Bagikan Artikel Ini Ke Teman Anda

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah Yang Baik