Jumat, 25 Januari 2013

Biografi singkat Syekh Arwani Amin Kudus

Himpunan Santri alumni Brabo



KH. M. Arwani Amin Kudus, Seorang Alim,Pelopor Ulama Qur'an di Indonesia yg Kharismatik. 
Yanbu’ul Qur’an Adalah pondok huffadz terbesar yang ada di Kota Kudus. Santrinya tak hanya dari kota Kudus. Tetapi dari berbagai kota di Nusantara. Bahkan, pernah ada beberapa santri yang datang dari luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

Pondok tersebut adalah pondok peninggalan KH. M. Arwani Amin. Salah satu Kyai Kudus yang sangat dihormati karena kealimannya, sifatnya yang santun dan lemah lembut. KH. M. Arwani Amin dilahirkan dari pasangan H. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah pada Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H., bertepatan dengan 5 September 1905 M di Desa Madureksan Kerjasan, sebelah selatan masjid Menara Kudus.

Nama asli beliau sebenarnya Arwan. Tambahan “I” di belakang namanya menjadi “Arwani” itu baru dipergunakan sejak kepulangannya dari Haji yang pertama pada 1927. Sementara Amin bukanlah nama gelar yang berarti “orang yang bisa dipercaya”. Tetapi nama depan Ayahnya; Amin Sa’id.

KH. Arwani Amin adalah putera kedua dari 12 bersaudara. Saudara-saudara beliau secara berurutan adalah Muzainah, Arwani Amin, Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhah dan Ulya.

Dari sekian saudara Mbah Arwani (demikian panggilan akrab KH. M. Arwani Amin), yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in. Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius. Karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwani. Yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.

Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Di mana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal. Selain barokah, orang tuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama.

Tak kurang, 39 tahun beliau habiskan untuk berkelana mencari ilmu. Diantara pondok pesantren yang pernah disinggahinya menuntut ilmu adalaj pondok Jamsaren (Solo) yang diasuh oleh Kyai Idris, Pondok Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Pondok Munawir (Krapak) yang diasuh oleh Kyai Munawir.

Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para Kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu.

Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.

Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri. Dari pernikahannya dengan Bu Naqi ini, Mbah Arwani diberi empat keturunan. Namun yang masih sampai sekarang tinggal dua, yaitu KH. M. Ulinnuha dan KH. M. Ulil Albab, yang meneruskan perjuangan Mbah Arwani mengasuh pondok Yanbu’ sampai sekarang.

Demikian besar jasa Mbah Arwani terhadap Ummat Islam di Indonesia terutama masyarakat Kudus, dengan kiprahnya mendirikan pondok yang namanya dikenal luas hingga sekarang.

Banyak Kyai telah lahir dari pondok yang dirintisnya tersebut. KH. Sya’roni Ahmadi, KH. Hisyam, KH. Abdullah Salam (Kajen), KH. Muhammad Manshur, KH. Muharror Ali (Blora), KH. Al Habib Najib Bin Abdul Qodir (Jogja), KH. Nawawi (Bantul), KH. Marwan (Mranggen), KH. Ahmad Hafidz (Mojokerto), KH. Abdullah Umar (Semarang), KH. Hasan Mangli (Magelang), adalah sedikit nama dari ribuan Kyai yang pernah belajar di pondok beliau.

Kini, Mbah Arwani Amin telah tiada. Beliau meninggal dunia pada 1 Oktober 1994 M. bertepatan dengan 25 Rabi’ul Akhir 1415 H. Beliau meninggal dalam usia 92 tahun. Namun, meski beliau telah meninggal dunia, namanya tetap harum di hati sanubari masyarakat. Pondok Yanbu’ul Qur’an, Madrasah TBS, Kitab Faidlul Barakat dan berbagai kitab lain yang sempat ditashihnya, menjadi saksi perjuangan beliau dalam mengabdikan dirinya terhadap masyarakat, ilmu dan Islam.

Mengenal Lebih Dalam Tentang JIN

Himpunan Santri alumni Brabo



Mengenal Lebih Dalam Tentang JIN

Manusia dari dulu hingga kini masih penasaran dengan identitas jin, dan ingin tahu siapa sih mahluk yang kebanyakan sering menggoda hati dan mencelakakan manusia itu? Sesuai dengan namanya, memang jin adalah suatu makhluk yang masih samar bagi manusia. Istilah jin (mestinya dengan dobel ‘n’) berasal dari kata janna-yajunnu-jannan, artinya, menutupi, menyembunyikan, menjadi gelap, merahasiakan atau melindungi.



Akar kata janana kemudian menjadi janin, berarti “anak yang masih dalam kandungan”. Seorang yang gila atau tertutup akalnya dinamakan majnuun. Begitu juga istilah jannaat bentuk jamak dari jannat, berarti “kebun” dalam arti “kebun tanaman yang dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan sehingga menutup pandangan manusia dari luar”, bisa juga dinamakan jannah, “surga” karena hakekatnya tertutup oleh pengetahuan manusia, atau paling tidak karena di sana “terdapat hal-hal yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, serta terjangkau oleh pikiran”.

 Jadi jin itu masih menjadi rahasia bagi manusia karena kita tidak dapat melihat jin dalam bentuknya aslinya sebagaimana firman Allah:

 “Sesungguhnya ia (jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” [Al-A’raf (7): 27].

Kalau keberadaannya saja begitu samar, bagaimana kita tahu biografi jin? Tidak terlalu sulit, sebab kita mengetahui tentang jin dari Sang Pencipta Jin (Allah) dan para utusan-Nya yang telah menerima Kitabullah, maka kita menuliskan biografi jin juga berdasarkan Al-Qur’an, serta beberapa keterangan dari Rasulullah saw yang telah mendapat pengetahuan tentang hal itu dari Allah swt.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Definisi JIN

Setelah kita mengetahui asal kata jin, maka kompas pemikiran kita sudah mulai bekerja dengan baik menuju kepada obyek yang kita amati. Karena itulah, ada beberapa ulama yang mendefinisikan apa hakekat jin itu. Menurut Dr Umar Sulaiman Al-Asqar, jin adalah makhluk halus yang diciptakan oleh Allah. Ia memiliki potensi dan keajaiban yang tidak dipunyai oleh makhluk lain. Ia bisa bergerak cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang jauh dalam sekejap. Ia dapat membawa manusia terbang di udara, menyusup ke dalam tubuh manusia, binatang, pohon-pohon dan lainnya.

Apa dasarnya? Yaitu firman Allah:
 “Ifrit dari golongan jin berkata (kepada Sulaiman): “Saya akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu (singgasana Ratu Yaman) kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesugguhnya aku benar-benar kuat membawanya dan dapat dipercaya.” Seorang jin yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab berkata: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terlihat di hadapannya, ia pun berkata: “Ini adalah dari karunia Tuhan-ku ….. [An-Naml (27): 39-40].

Begitu juga dengan keterangan dari Rasulullah saw:
 “Sesungguhnya setan (jin kafir) berjalan cepat dari anak Adam di tempat mengalirnya darah …. “ (HR Bukhari-Muslim).

Begitu perkasanya jin? Tidak juga. Jin tidak mengetahui hal yang gaib, sebagaimana manusia, jin tidak akan mengetahui apakah hari akan hujan atau tidak, nasib manusia esok hari seperti rezeki, jodoh, dan lainnya; jenis kelamin janin, hari kiamat, serta saat kematian.

 “Maka tatkala Kami telah memutuskan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka tentang kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, barulah jin itu tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib, tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” [Saba’ (34): 14].
Dipercaya juga, jin tidak bisa menyentuh tubuh manusia. Bagaimana bisa menyentuh? Jin itu berada di alam sendiri, yang berbeda dengan alam manusia dan alam malaikat. Namun konon ada yang berpendapat, alam jin itu sama dengan alam malaikat. Kalau jin bisa menyentuh manusia, maka dia bisa mencelakakan manusia secara langsung, seperti membunuh manusia, menculik manusia, dan berbagai kerusakan atau bencan lainnya. Sebaliknya manusia juga tidak bisa menyentuh jin, kecuali para rasul yang telah diberikan kekuatan Allah untuk dapat menangkap jin, seperti Nabi Sulaiman dan Nabi Muhammad.
Lalu dengan cara apa jin kafir bisa mencelakakan manusia? Dengan cara menghasut lewat bisikan di dalam hati manusia.
 “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja Manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, dari kejahatan (bisikan) ke dalam hati manusia, dari (golongan ) jin dan manusia.” (An-Naas (114): 1-6]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

JIN dan SETAN

Mengapa jin sering juga disebut setan? Dua istilah ini bisa ditelusuri dari kisah penciptaan Adam, ketika itu, malaikat dan iblis diminta sujud (menghormat) kepada Adam sebagai mahluk yang lebih berilmu dari pada mereka berdua. Malaikat tunduk kepada perintah Allah untuk sujud kepada Adam sedang iblis menolak perintah Allah dengan alasan:
 “Saya (iblis) lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf (7): 12].
Karena kafir kepada Allah itulah, iblis diusir dari surga. Ketika iblis menggoda Adam dan Hawa untuk mau memakan buah larangan itu, Al-Qur’an menyebut iblis dengan istilah setan:

 “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” [Al-Baqarah (2): 36].

*Iblis: 
Iblis adalah bentuk kata benda bahasa Arab diambil dari kata “ilbalasa” yang berarti “orang yang tidak punya kebaikan”; dan “ublisa” berarti “putus asa dan bingung”. Iblis adalah salah satu jin yang waktu itu sudah ada bersama malaikat. Golongan jin lainnya, misalnya ifrit. Ada kemungkinan, iblis adalah salah satu pemimpin terbesar bangsa jin, karena itu mewakili “Perhelatan” yang diadakan Allah, bersama malaikat dan Adam.

Merujuk kepada surat Al-Baqarah (2): 36 dan An-Naas (114): 6, maka mereka yang disebut setan bisa berasal dari golongan jin dan dari golongan manusia. Jadi setan adalah jin kafir dan manusia kafir. Namun memang Al-Qur’an lebih sering menyebut setan ini dalam arti jin kafir. Sedang setan manusia juga disebut thagut (orang yang kelewat batas), sebab dia adalah kawan-kawan setan (jin kafir).
Dari sini dapat diketahui bahwa induk segala makhluk halus yang mengganggu manusia, entah itu bernama setan (satan), hantu (ghost), dan kuntilanak (sundel bolong) Atau sebagai digolongkan orang Jawa, yaitu memedi (hantu yang menakut-nakuti), lelembut (mahluk halus), tuyul (hantu bocah), dedemit atau demit (hantu penghuni suatu tempat), dan danyang (roh pelindung). Semua adalah jin kafir! Mereka menjadi pengikut iblis dan ifrit.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*PENCIPTAAN JIN

Jin diciptakan dari api dalam Al-Qur’an disebutkan:
 “Dan, Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” [Al-Hijr (15): 27].
 “Dan, Dia telah telah menciptakan jin dari nyala api. “ [Ar-Rahman (55): 27].
 Sedang di dalam hadits shahih disebutkan, dari A’isyah dari Nabi saw. Beliau bersabda:
 “Malaikat telah diciptakan dari cahaya. Jin telah diciptakan dari api. Dan Adam telah diciptakan dari apa yang disifatkan pada kalian.” (HR Muslim).

Karena perbedaan asal penciptaan inilah, iblis melakukan kias diskreminasi bahwa dia yang berasal dari api mengaku lebih baik dibanding dengan Adam yang berasal dari “tanah liat kering (berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. Karena itulah, dalam kazanah hukum Islam ada ulama yang menolak kias, karena kias berasal dari iblis.
Sebetulnya kias (qiyas) yang dipergunakan iblis adalah kias diskreminasi, bukan kias dalam makna analogi (persamaannya). Iblis menggunakan variabel diskret ini didasarkan kepada rasa enggan, sombong, dan tinggi hati. Oleh sebab itu, Allah mengutuk iblis karena telah berbuat kafir kepada-Nya.
Sebagaimana penciptaan manusia, jin yang berasal dari api tidak kemudian menjadi mahluk api, maksudnya, tidak seluruhnya dalam bentuk api menyala. Begitu juga manusia diciptakan dari tanah, tetapi secara fisik tidak dalam bentuk tanah, melainkan dalam bentuk daging, darah dan tulang-tulang.
Hal ini untuk menjawab alasan orang yang culas, bahwa meski jin kafir nanti dimasukkan ke dalam api neraka, tetapi hukuman itu tidak akan membuat mereka sakit, sebab keduanya diciptakan dari bahan yang sama, yaitu api. Keterangan ini jelas batil, sebagaimana manusia yang diciptakan dari tanah, kalau tubuh manusia ini terkena lemparan bongkahan tanah maka akan sakit juga, meski keduanya berasal dari bahan yang sama.
Perbedaan lainnya adalah jin diciptakan lebih dulu dari manusia. Lalu lebih dulu mana jin dengan malaikat? Ada tiga kemungkinan, karena tidak ada keterangan yang shahih, yaitu malaikat lebih dulu dari jin, malaikat dan jin diciptakan bersamaan, terakhir jin lebih dahulu diciptakan dari malaikat. Jadi hak Allah untuk untuk menciptakan mereka lebih dahulu atau lebih akhir.
Hanya, sebagai manusia yang memiliki alat yang disebut akal, maka kita lebih cenderung berpendapat – bisa benar dan bisa salah - bahwa malaikat lebih dulu diciptakan dari jin. Alasannya, malaikat diciptakan Allah untuk mengabdi dan sekaligus menjadi pembantu Allah, sedang jin hanya diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Karena dengan dua tugas utama itulah malaikat lebih dahulu diciptakan dari jin.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*TUGAS JIN

Allah menciptakan mahluk semua ada tujuannya. Begitu juga dengan penciptaan jin.
 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzariyat (51): 56].
Jadi pada awal mulanya jin itu adalah mahluk yang taat beribadah kepada Allah. Contohnya iblis adalah jenis mahluk yang sangat meyakini ketauhidan Allah. Mengapa kemudian mereka kafir kepada Allah?
Ini tidak lepas dari penciptaan Adam sebagai manusia pertama. Ketika Adam diciptakan dan diajarkan nama-nama benda, maka dia lebih unggul dari malaikat dan iblis. Allah menyuruh kedunya sujud tanda hormat kepada Adam, malaikat tunduk, tetapi iblis menolak, karena itulah dia kafir kepada Allah. Iblis yang kafir kemudian mendapat sebutan setan.
Sejak kejadian itu, mulai terpecah-belahlah golongan jin menjadi dua. Yang pertama golongan jin kafir juga disebut setan, kedua jin yang tetap tunduk kepada Allah, sebut saja jin Muslim. Jin kafir menggoda dan mencelakakan manusia hingga akhir dunia, sementara jin Muslim tetap kepada fitrahnya beribadah kepada Allah.

Dalam Al-Qur’an disebutkan:
 “ Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” [Al-Jin (72): 11].
 “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) (orang-orang) yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mreka menjadi kayu api bagi neraka Jahanam.” [Al-Jin (72): 14-15].

Jin terus menggoda anak cucu Adam di dunia, hingga saat munculnya Nabi Sulaiman yang diberikan kemampuan Allah untuk bisa menundukkan bangsa jin. Jin dan setan itu diperbudak oleh Nabi Sulaiman untuk membangun gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang besar seperti kolam, dan periuk yang tetap berada di atas tungku.
Kemampuan Nabi Sulaiman menundukkan jin ini karena doanya terkabul.
 “(Ya Tuhanku), anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun jua sesudahku.” [Shad (38): 35].
Doa inilah yang mencegah Nabi Muhammad saw untuk mengikat seorang jin atau iblis yang telah mengganggu salatnya. “Demi Allah, kalau tidak karena doa saudara kita Sulaiman, niscaya dia akan diikat sehingga bisa dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah.” (HR Muslim).
Dari hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menundukkan jin, sebab kemampuan untuk menundukkan jin hanya bisa dimiliki Nabi Sulaiman dan para nabi yang telah mendapatkannya dari Allah, sehingga Nabi Muhammad saw sendiri mengurungkan niatnya – meski memiliki kemampuan untuk itu.
Bagaimana kalau jin itu sendiri yang suka rela membantu manusia? Rasulullah sebagai manusia yang agung, yang dulu banyak mendapatkan kesulitan, tidak pernah mendapatkan tawaran bantuan dari jin (Muslim). Begitu juga tidak ada cerita para sahabat bekerja sama dengan jin. Yang ada justru cerita tentang para jin yang menggoda para sahabat, seperti kasus Abu Hurairah yang didatangi jin kafir yang menyamar sebagai peminta-minta. Tiga hari berturut-turut jin itu meminta sesuatu dari baitul maal, ketika dilaporkan kepada Nabi, maka diberitahu bahwa itu adalah setan yang menyamar, maka ditangkapnya. Setan itu minta dilepaskan dengan imbalan mengajarkan kepada Abu Hurairah supaya tidak tergoda setan, yaitu dengan membaca ayat Kursi.
Kebanyakan kerjasama dengan bantuan jin kafir itu justru menimbulkan malapetaka, sebagaiman disitir Al-Qur’an:
 “Dan sesungguhnya ada beberapa orang di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa orang di antara jin, maka jin-jin itu menambah dosa dan kesalahan bagi mereka.” (Al-Jin (72): 6].
Sebelum Nabi saw diangkat menjadi rasul, setan selalu mengintip pembicaraan di langit ke tujuh. Setelah itu, informasi yang tidak lengkap itu ditambah-tambahi dengan dusta dan disebarkan kepada para dukun pengikut setan untuk meramal atau untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri. Itulah sebabnya, manusia bertambah dosa dan kesalahannya karena mereka meminta bantuan para setan itu. Setelah Nabi saw diangkat jadi rasul, Allah menembak para setan itu dengan meteor, sehingga tertutup pintu langit bagi mereka.
Kembali pada pokok persoalan, bagaimana cara jin itu beribadah kepada Allah? Golongan jin beribadah menurut syariat pada masa Nabi berada. Untuk sekarang para jin beribadah mengikuti cara Nabi Muhammad saw:
 “Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an) lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebersaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” [Al-Jin (72): 1-3].
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*KARAKTERISTIK JIN

Seperti manusia, apakah jin juga berketurunan? Sebagian besar ulama berpendapat bahwa jin juga berketurunan seperti manusia. Alasannya:
 “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya (dzurriyyatahu) sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. [Al-Kahfi (18): 50].
Berarti jin itu berketurunan. Dalam logika kita, jin itu melakukan perkawinan dan beranak-pinak seperti manusia. Cuma dalam hal ini kita tidak tahu bagaimana hakekat perkimpoian dan reproduksi mereka.
 “Mereka (para bidadari) belum disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni surga) dan tidak pula oleh jin. [Ar-Rahman (55): 56].
Di sini diketahui bahwa jin Muslim akan masuk surga, dan mereka juga akan melakukan hubungan suam-istri dengan para bidadari sebagaimana manusia melakukan perkawinan. Jadi jin juga melakukan perkawinan dan beranak-pinak ketika di dunia.
Ada persoalan, betulkah manusia bisa kawin dengan jin? Mustahil. Jin dan manusia adalah spesies yang berbeda, seperti, dapatkah kawina (bersatu) antara api dengan tanah? Mungkin yang dimaksud di sini adalah perkawinan ideologi, di mana manusia telah sesat mengikuti godaan setan (jin kafir).
Menurut keterangan hadis, jin mengalami ajal. Namun dipercayai umur mereka panjang-panjang seperti umur iblis yang hingga akhir dunia.
Mereka juga makan dan minum, menurut hadis sahih: “Tulang dan kotoran binatang itu merupakan makanan jin” (HR Bukhari).
Bagaimana wajah jin kafir (setan)? Hadis sahih menunjukkan bahwa setan memiliki dua tanduk, sedang Al-Qur’an menunjukkan bahwa wajah Al-Qur’an itu menyeramkan.
 “Sesungguhnya ia (zaqqum) adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka yang menyala-nyala. Buahnya seperti kepala-kepala setan.” [ Ash-Shafat (37): 65].
Bentuknya? Besar kemungkinan lebih kecil dari manusia, karena dalam hadits Nabi saw tentang keinginan akan menangkap jin dan akan dipermainkan anak-anak Madinah, dan bentuknya mungkin seperti boneka, sehingga anak-anak senang mempermainkannya. Wallahualam.
Di mana tempat jin kafir? Rumah yang lama tidak didiami manusia akan menjadi sarang jin, dan menurut hadits Muslim, pasar adalah tempat setan bertempur.
Jin memiliki waktu-waktu tertentu untuk aktivitas, sebab kita dilarang salat sunah pada waktu fajar dan tenggelamnya matahari (HR Bukhari), karena itulah waktu bencana, saat orang menyembah matahari.
Beberapa aktivitas jin kafir adalah menyembah berhala, mengundi nasib, berjudi, dan minum minuman keras, serta perbuatan maksiat dan mungkar lainnya sebagaimana disebutkan Al-Qur’an.
Yang jelas, di manapun dan kapanpun, bila ada kesempatan jin kafir alias setan menggoda manusia, maka mereka akan berada di tempat dan waktu yang diperlukan itu. Jadi waspadalah, jin kafir ada di sekitar Anda!!!


Senin, 21 Januari 2013

Syekh Kholil Bangkalan Madura

Himpunan Santri alumni Brabo


Seorang Alim dari tanah Madura
PULAU Madura yang terletak di Jawa Timur ramai melahirkan ulama besar sejak zaman dulu hingga sekarang. Salah seorang di antara mereka yang diriwayatkan ini, nama lengkapnya ialah Kiyai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.

Yang terakhir ini (Sayid Sulaiman) dikatakan adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang terkenal itu. Salasilah selanjutnya, adalah Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin @ Umdatullah @ Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya pula ialah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra (wafat di Tuwajok, Sulawesi), dan seterusnya hingga ke atas.

Memperhatikan salasilah di atas, maka bererti ulama yang berasal dari Pulau Madura yang diriwayatkan ini, adalah daripada asal salasilah dengan Syeikh Nawawi al-Bantani atau Imam Nawawi ats-Tsani ulama yang berasal dari Banten, Jawa Barat, yang riwayatnya telah dimuatkan dalam Ruangan Agama, Utusan Malaysia, 7 Februari 2005. Dalam salasilah Syeikh Nawawi al-Bantani, Sayid Ali Nurul Alam itu bernama Ali Nuruddin, disebutkan al-mutawaffa fil Anam bis Shin (maksudnya wafat di Anam, negeri China).

Dalam salasilah ulama Patani, Ali Nurul `Alam itu bernama Ali al-Masyhur al-Laqihi. Pada masa mudanya pernah ke Jawa, kemudian menyebarkan Islam ke Madura dan Sumbawa, kemudian pulang ke Cam/ Campa dan seterusnya ke Patani memperoleh beberapa orang anak. Di antaranya bernama Wan Muhammad Shalih al-Laqihi al-Fathani. Beliau ini memperoleh seorang anak, iaitu Zainal Abidin @ Faqih Wan Musa al-Fathani, kuburnya telah ditemui di Kampung Tok Diwa, Sena, Patani. Beliau adalah ulama yang membuka Kampung Sena, Patani. Memperhatikan catatan ini bererti bahawa Wan Muhammad Shalih al-Laqihi adalah saudara seayah dengan Sultan Umdatuddin di Cam/Campa itu kerana kedua-duanya putera Ali Nurul `Alam. Bererti pula bahawa Faqih Wan Musa al- Fathani adalah saudara sepupu dengan Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sembilan (di Jawa) yang sangat terkenal itu, kerana kedua-duanya adalah cucu Ali Nurul `Alam. Wan Muhammad Shalih al-Laqihi keturunan lurusnya ke bawah, iaitu Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Ali Nurul `Alam yang tersebut itu wafat di Cam/Campa, yang oleh kebanyakan penulis, terutama penulis-penulis Indonesia, mengatakan di Anam itu. Dalam catatan ulama Patani disebut bahawa jenazah Ali Nurul `Alam itu telah dipindahkan di Binjal Lima Patani.

Daripada apa yang disebutkan di atas, salasilah Kiyai Khalil al-Maduri (Madura) selain satu salasilah dengan Syeikh Nawawi al-Bantani, bererti juga satu salasilah dengan Syeikh Ahmad al-Fathani. Catatan ini saya nyatakan di sini adalah hasil penyelidikan terkini, dan keterangan selengkapnya saya bicarakan dalam Tabaqat Ulama Asia Tenggara jilid 1.

Pendidikan
Kiyai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah/27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Kiyai Haji Muhammad Khalil berasal daripada keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, beliau dikirim ke berbagai-bagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Dalam masa masih menjadi santeri/pelajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa lagi Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan, yang pasti ialah Matan Alfiyah Ibnu Malik (1,000 bait) mengenai ilmu nahu yang terkenal itu. Selanjutnya beliau juga seorang hafiz al-Quran tiga puluh juzuk. Beliau berkemampuan dalam qiraah tujuh (tujuh cara membaca al-Quran). Tidak jelas apakah al-Quran tiga puluh juzuk telah dihafalnya sejak di Jawa atau pun setelah menetap di Mekah berpuluh-puluh tahun.

Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, Kiyai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Di Mekah Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri bersahabat dengan Syeikh Nawawi al-Bantani. Ulama-ulama dunia Melayu di Mekah yang seangkatan dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masihi), Kiyai Khalil al-Manduri (lahir 1235 Hijrah/1820 Masihi), Syeikh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masihi), Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masihi), Kiyai Umar bin Muhammad Saleh Semarang dan ramai lagi. Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani dan ramai lagi. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima daripada sahabatnya Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Walau pun Syeikh Ahmad al-Fathani jauh lebih muda daripadanya, iaitu peringkat anaknya, namun kerana tawaduknya, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri pernah belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu. Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, tentang nahu dalam bahasa Arab, di pondok-pesantrennya di Bangkalan. Karya Syeikh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok-pesantren tradisional di Jawa dan Madura diajarkan kitab itu.


Saya tidak sependapat dengan tulisan yang menyebut bahawa Kiyai Muhammad Khalil teman seangkatan dengan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Muhammad Yasin Padang (majalah Amanah 42 dan Ensiklopedia Islam Indonesia), kerana sewaktu Kiyai Muhammad Khalil ke Mekah tahun 1276 Hijrah/1859 Masihi, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau baru dilahirkan (1276 Hijrah/1859-1860 Masihi). Syeikh Muhammad Yasin Padang pula belum dilahirkan, beliau jauh kebelakang daripada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Syeikh Yasin Padang meninggal dunia sekitar tahun 1990an. Kemungkinan ayah Syeikh Yasin Padang, iaitu Syeikh Isa bin Udik Padang itulah yang bersahabat dengan Syeikh Muhammad Khalil al-Maduri.

Mengenai ilmu thariqat, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri belajar kepada beberapa orang ulama thariqat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya daripada Syeikh Ahmad Khatib Sambas diterimanya baiah dan tawajjuh Thariqat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Thariqat Naqsyabandiyah juga diterimanya daripada Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi, dan selainnya ramai lagi, di antaranya termasuk kepada Syeikh Utsman Dimyathi juga.

Sewaktu berada di Mekah untuk perbelanjaannya sehari-hari, Kiyai Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin risalah-risalah yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahawa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, iaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Murid-muridnya yang terkenal
Oleh sebab Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahu, fikah, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekali gus adalah menantunya, ialah Kiyai Muntaha. Kiyai Muntaha ini berkahwin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernama Siti Khatimah. Adapun beliau sendiri (Kiyai Khalil) mendirikan pondok-pesantren yang lain di Kota Bangkalan, letaknya sebelah Barat kota tersebut dan tidak berapa jauh dari pondok-pesantrennya yang lama.

Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahawa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan fizik, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Sama ada tokoh ulama mahu pun tokoh-tokoh lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan daripada Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri itu.

Di antara sekian ramai murid Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri yang tidak asing lagi, yang cukup umum diketahui, dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kiyai Haji Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama atau singkatannya NU); Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo). Salah seorang muridnya yang menyebarkan Islam melalui Thariqat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah ialah Kiyai Haji Fathul Bari. Kiyai Haji Fathul Bari yang tersebut sangat ramai muridnya di Madura, Jawa dan Kalimantan Barat. Sebagaimana gurunya, Kiyai Haji Fathul Bari juga dikatakan banyak melahirkan kekeramatan. Kubur beliau terletak di Kampung Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Dan masih ramai murid Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri yang muncul sebagai tokoh-tokoh besar yang belum sempat dicatat dalam artikel ringkas ini.

Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.

Minggu, 20 Januari 2013

Syekh Nawawi Al-Bantani

Himpunan Santri alumni Brabo

 Sayyid Ulama Hijaz Arab,Punjere para Alim di Indonesia.
Syekh Nawawi Al- Bantani


Syekh Nawawi Banten (1230-1314 H/1813-1897 M) alias Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau, dan Kiai Mahfudz Termas (wafat 1919-20 M).
Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Istrinya yang pertama bernama Nasimah, juga lahir di Tanara. Darinya, Syekh Nawawi dikaruniai tiga putri, Nafisah, Maryam, dan Rubi’ah. Istrinya yang kedua, Hamdanah, memberinya satu putri: Zuhrah. Konon, Hamdanah yang baru berusia berlasan tahun dinikahi sang kiai pada saat usianya kian mendekati seabad. Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.

Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, ia wafat pada 1316 H/ 1898 M.

Penulis Multi Dimensi 
Jejak Syekh Nawawi, baik melalui murid dan pengikutnya maupun melalui kitabnya, yang masih berpengaruh dan dipakai di pesantren hingga kini, benar-benar pantas menempatkannya sebagai nenek moyang gerakan intelektual Islam di Nusantara. Bahkan, sangat boleh jadi, ia merupakan bibit penggerak (King Maker) militansi muslim terhadap Belanda penjajah.

Sebagai pengarang yang paling produktif, Kiai Nawawai Banten punya pengaruh besar di dikalangan sesama orang Nusantara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya. Tak kurang dari orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati. Ia menerbitkan lebih dari 38 kitab. Sumber lain mengatakan lebih dari 100 kitab.

Ia menulis kitab dalam hampir setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dari pengarang Indonesia sebelumnya, ia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah (komentar) atas kitab yang telah digunakan di pesantren serta menjelaskan, melengkapi, dan terkadang mengkoreksi matan (kitab asli) yang dikomentari.

Sejumlah syarah-nya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (ia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar dan 11 kitabnya yang paling banyak digunakan di pesantren. Syekh Nawawi Banten berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Ia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya dan memperkayanya dengan menulis karya baru berdasarkan kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka.

Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, pun termasuk siswanya. Muridnya yang lain antara lain, K.H. Hasyim Asy-ari, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Raden Asnawi, dan K.H. Tubagus Asnawi.

Karya-karya Monumentalnya 
beberapa karya monumentalnya antara lain adalah Qathr al-Ghaits, merupakan syarah dari kitab akidah terkenal, Ushul qBis, karya Abu Laits al-Samarqandi, yang di Jawa lebih dikenal sebagai Asmaraqandi. Bersama karya Ahmad Subki Pekalongan, Fath al-Mughits, yang merupakan terjemahan Jawa Ushul 6 Bis, Qathr al-Ghaits banyak dipakai dan menjadikan Ushul 6 Bis lebih terkenal.

Ushul 6 Bis ialah karya tentang ushuluddin yang terdiri atas enam bab yang masing-masing dibuka dengan kata bismillah. Pada abad ke-19, Ushul 6 Bis merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari di pesantren tingkat rendah Indonesia. Dua kitab lain yang diajarkan di tingkat yang sama ialah kitab fiqh at-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Syuja’ al-Isfahani dan Bidayah al-Hidayah, ringkasan Ihya karya al-Ghazali.

Kitab Madarij al-Su’ud Ila Ikhtisah al-Burud, yang berbahasa Arab dalam berbagai terbitan merupakan adaptasi Indonesia kitab karya Ja’far bin Hasan al-Barzinji tentang Maulid an-Nabi (‘Iqd al-Jawahir). Karya acuan lain yang paling penting ialah Minhaj at-Thalibin dan komentarnya atas karya Khatib Syarbini, Mughni al-Muhtaj. Minhaj yang menjadi dasar utama semua teks juga dianggap sebagai sumber riil otoritas.

Teks dasar dalam bidang akidah ialah Umm Al-Barahin (disebut juga Al-Durrah) karya Abu’Abdullah M. bin Yusuf al-Sanusi (wafat 895 H/ 1490 M). Syarah yang lebih mendalam, yang dikenal sebagai as-Sanusi, ditulis oleh pengarangnya sendiri. Karya lain yang sebagain didasarkan atas As-Sanusi ialah Kifayah al-‘Awwam karya Muhammad bin Muhammadal-Fadhdhali (wafat 1236 H/ 1821 M) yang sangat popular di Indonesia.

Murid Fadhali, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1861 M) menulis syarah-nya, Taqiq al-Maqam ‘Ala Kifayah al’Awwam, yang dicetak bersama Kifayah dalam edisi Indonesia. Syarah ini di-hasyiyah-kan oleh Nawawi Banten dalam karya yang banyak dibaca orang, Tijan ad-Durari.

Tidak hanya itu, syekh Nawawi juga menulis kitab yang digunakan untuk anak-anak dan remaja. Kitab singkat berbentuk sajak bagi mereka yang berusia belia dan baru mengerti bahasa Arab, ‘Aqidah al-Awwam, ditulis oleh Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki yang giat kira-kira 1864. Syekh Nawawi menulis syarah yang terkenal atasnya, Nur Azh-Zhalam.

Nasha’ih al-‘Ibad juga merupakan karya lain Syekh Nawawi. Kitab ini merupakan syarah atas karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, an-Nabahah ‘ala Isti’dad. Kitab ini memusatkan pembahasan atas adab berperilaku dan seiring dijadikan karya pengantar mengenal akhlak bagi santri yang lebih muda.

Syekh Nawawi juga menulis syarah berbahasa Arab atas Bidayah al-Hidayah karya Abu Hamid al-Ghazali dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah yang lebih popular, jika dinilai dari jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang. ‘Uqd al-Lujain fi Huquqf az-Zaujain ialah karya Nawawi tentang hak dan kewajiban istri. Ini adalah materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah-nya dalam bahasa Jawa beredar, Hidayah al-‘Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan dan Su’ud al-Kaumain oleh Sibt al-Utsmani Ahdari al-Jangalani al-Qudusi.

Tokoh Sufi Qodiriyah

Syekh Nawawi juga dicatat sebagai tokoh sufi yang beraliran Qadiriyah, yang didasarkan pada ajaran Syaikh Abdul-Qadir al-Jailani (wafat 561 H/ 1166M). Sayang, hingga riwayat ini rampung ditulis, penulis belum mendapatkan bahan rujukan yang memuaskan tentang Syekh Nawawi Banten sebagai pengikut tarekat Qadiriyah ataukah tarekat gabungan Qadiriyah wa Naqshabandiyah.

Padahal, pembacaan sejak lama kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu merupakan indikasi kuatnya tarekat ini di Banten. Bahkan, Hikayah Syeh, terjemahan salah satu versi Manaqib, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karangan ‘Afifuddin al-Yafi’i (wafat 1367M), sangat boleh jadi dikerjakan di Banten pada abad ke-17, mengingat gaya bahasanya yang sangat kuno. Lebih dari itu, pada pertengahan abad ke-18, Sultan Banten ‘Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya menggelari diri al-Qadiri.

Seabad kemudian, mukminin dari Kalimantan di Makkah, Ahmad Khatib Sambas (wafat 1878), mengajarkan tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Naqshabandiyah. Kedudukannya sebagai pemimpin tarekat digantikan oleh Syaikh Abdul Karim Banten yang juga bermukim di Makkah. Di tangannya, tarekat gabungan ini berkembang pesat di Banten dan mempengaruhi meletusnya Geger Cilegon pada 1888 dan amalannya melahirkan debus.

Begitulah, Syeikh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani yang hidup kira-kira satu abad setelah ‘Abd as-Samad al-Falimbani disebut dalam isnad kitab tasawuf yang diterbitkan oleh ahli isnad kitab kuning Syekh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani) sebagai mata rantai setelah ‘Abd as-Samad.

Syekh Nawawi yang sangat produktif itu juga menulis kitab syarah, Salalim al-Fudhala’, atas teks pelajaran tasawuf praktis Hidayah al-Adzkiya’ (Ila Thariq al-Auliya’) karya Zain ad-Din al-Malibari yang ditulis dalam untaian sajak pada 914 H/ 1508-09 M. kitab ini popular di Jawa, misalnya disebutkan dalam Serat Centhini. Salalim dicetak di tepi Kifayah al-Ashfiya’ karya Sayyid Bakri bin M. Syaththa’ ad-Dimyati.

Penyumbang Ilmu Fiqh
  
Syekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.

Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.

Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.

Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.

Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.

Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten.

Minggu, 13 Januari 2013

Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo Tanggungharjo Grobogan

Himpunan Santri Alumni Brabo


A. Sekilas Pandang.

Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin berdiri pada tahun 1941 M oleh Al Maghfurlah Kyai Syamsuri Dahlan yang berasal dari Desa Tlogogedong Kec. Karangawen Kab. Demak, sedangkan istri, Nyai Muslihah Syamsuri berasal dari desa Tanggung Kec. Tanggungharjo Kab. Grobogan, putri KH. Syarqowi, sang guru dan mertua Kyai Syamsuri.Semula, pondok ini hanya mengajarkan kitab-kitab klasik dengan metode sorogan dan bandongan, namun seiring dengan perkembangan jumlah santri yang terus meningkat dari berbagai daerah, maka di bawah naungan Yayasan “Tajul Ulum” pada tahun 1953 berdirilah Madrasah Diniyyah Awaliyah, tahun 1969 berdiri Madrasah Diniyyah Wustho, tahun 1970 berdiri Madrasah Tsanawiyyah, dan tahun 1985 berdiri Madrasah Aliyah.

Pada tanggal 4 Oktober 1988, Simbah Kyai Syamsuri Dahlan wafat, estafet kepemimpinan dilanjutkan putra beliau yang ke-4 dan ke-5 dari lima bersaudara, KH. Drs. Ahmad Baidlowie Syamsuri, Lc. H (alumnus Universitas Islm Madinah fak. Hadis) bersama adik kandungnya Bp. KH. Muhammad Anshor Syamsuri (alumnus pesantren asuhan KH. Muslih bin Abdurrohman Mranggen, Demak dan KH. Umar bin Abdul Mannan, Solo).

Tahun 1989, pesantren yang sebelumnya hanya khusus putra ini membuka asrama santri putri dengan pengasuh Ibu Ny. Hj. Maimunah Shofawie (istri KH. Ahmad Baidlowie Syam.) alumnus pesantren asuhan KH. Mufid Mas’ud, AH (Jogjakarta), KH. Arwani Amin (Kudus), KH. Bisyri Syansuri (Jombang), dll.

Untuk pengkajian kitab salaf, Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin membuka program Madrasah Muhadloroh Sirojuth Tholibin pada tahun 1998 yang membuka kelas pagi dan pada tahun 2009 dibuka kelas malam dengan tenaga pengajar alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Ploso, Sarang, Narukan, dll.

Dengan demikian, pondok pesantren ini termasuk kategori pondok pesantren salaf-kholaf, sebuah pesantren yang mengakomodir keilmuan klasik dan modern.

B. Visi

Pondok Pesantren menjadi lembaga pendidikan pilihan dalam rangka menyiapkan kader yang bermoral baik serta mampu bersaing dalam dunia kekinian.

C. Misi
  1. Menyelenggarakan pendidikan dengan memadukan sistem salafi dan modern merunut “Al Muhafadzoh ‘alal qodimish sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah”
  2. Mencetak kader yang berakhlaqul karimah dan berpengetahuan luas
  3. Membekali kader dengan akidah dan syari’at yang benar sesuai dengan pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah an nahdliyyah
Sumber : dari Kang Admin PPST Brabo