Kamis, 14 Februari 2013

Mengenang Beliau Al-Mukarrom Kyai Abbas Buntet Cirebon

Baca juga tulisan menarik lainnya

Himpunan santri alumni pondok pesantren modern sirojuth tholibin brabo tanggungharjo grobogan


Kiai Abbas Buntet, selain menjadi salah seorang tokoh sentral NU, juga pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Pesantren tersebut, hingga saat ini terus tumbuh dan berkembang. Di sana, bukan saja menggelar kitab kuning, tapi mengobarkan semangat juang.

Kualitas pengajian dan kharisma seorang kiai merupakan daya tarik utama dalam sistem pendidikan pesantren Salaf. Dan ini tetap dipertahankan dalam sistem pendidikan pesantren Buntet sebabagi sosok pesantren salaf yang tidak pernah kehilangan pesona dan peran dalam dunia modern. Tersebutlah saat ini peran sosial politik yang diambil kiai Abdullah Abbas, selalu menjadi rujukan para pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya banyak, tetapi memang nasehat dan pandangannya sangat berisi. Semuanya itu tidak diperoleh begitu saja, melainkan hasil pergumulan panjang, yang penuh pengalaman dan pelajaran, sehingga membuat para tokoh matang dalam kancah perjuangan.

Kiai Abdullah bukan sekedar tokoh yang berperan karena mengandalkan popularitas keluarga atau keturunannya. Semuanya itu tidak terlepas dari peran para pendahulu pesantren Buntet, ayah Kiai Abdullah sendiri yaitu Kiai Abbas, seorang ulama besar yang mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sekaligus, sebagai sarana perjuangan membela umat. Kiai Abas adalah putra sulung KH Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 25 Oktober 1800 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH Abdul Jamil adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon. Ia menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak Sultan Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777. Tetapi Jabatan terhormat itu kemudian ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggungjawab terhadap agama dan bangsa.

Selain itu juga karena sikap dasar politik Mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah belanda – karena penjajah secara politik saat itu sudah “menguasai” kesultanan Cirebon. Setelah meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pesantren tahun 1750 di Dusun Kedung Malang, desa Buntet, Cirebon yang petilasannya dapat dilihat sampai sekarang berupa pemakaman para santrinya. Untuk menghindari desakan penjajah Belanda, ia selalu berpindah-pindah. Sebelum berada di Blok Buntet, (desa Martapada Kulon) seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah yang disebut Gajah Ngambung. Disebut begitu, konon, karena Mbah Muqayyim dikhabarkan mempunyai gajah putih.

Setelah itu juga masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon), lantas ke daerah yang disebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, krn begitu gencarnya desakan penjajah Belanda (karena sikap politik yang non-cooperative), Mbah Muqayyim sampai “hijrah” ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah, sebelum kembali ke daerah Buntet, Cirebon. Hal itu dilakukan karena hampir tiap hari tentara penjajah Belanda melakukan patroli ke daerah pesantren. Sehingga suasana pesantren, mencekam, tapi para santri tetap giat belajar sambil terus bergerilya bila malam hari tiba. Semuanya itu dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Qoyyim selalu mendampingi mereka. Sementara bimbingan Mbah Qoyyim selalu mereka harapkan sebab kiai itu dikenal sebagai tokoh yang ahli tirakat (riyadloh) untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Ia pernah berpuasa tanpa putus selama 12 tahun. Mbah Muqayyim niat puasanya yang dua belas tahun itu dalam empat bagian.

Tiga tahun pertama, ditunjukkan untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucuknya. Tiga tahun yang ketiga untuk para santri dan pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk keselamatan dirinya. Saat itu Mbah Muqayyim lah peletak awal Pesantren Buntet, sudah berpikir besar untuk keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu pesantren rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut. Sejak zaman pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, pesantren ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.

Dengan demikian, pada dasarnya Kiai Abbas adalah dari keluarga alim karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri, KH Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, baru pindah ke pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu, masih didaerah Jawa Barat, ia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan. Baru setelah itu keluar daerah, yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.

Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH Abdul Manaf yang turut mendirikan pesantren Lirboyo, kediri Jawa Timur. Walaupun keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap berniat memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu masih ada ulama Jawa terkenal tempat berguru, yaitu Syekh Machfudz Termas (asal Pacitan, Jatim) yang karya-karyanya masyhur itu.
Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah Jombang.

Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukminin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH Cholil Balerante- Palimanan, KH Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri- santri lainnya. Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet, warisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.

Sebagai seorang kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fiqih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fiqih memang merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat. Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seurang ulama yang alim dan berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.

Walaupun namanya sudah terkenal diseantero Jawa, baik karena kesaktiannya maupun karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Duhur atau Ashar, sebuah langgar yang berada di pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru. Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti lazimnya para kiai.

Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH Anas dan KH Akyas.

Ketika memasuki masa senjanya, Kiai Abbas lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah. Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucunya. Karena itu, Kiai Abbas mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.

Tentu saja yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya dan memperkaya jiwanya. Maka begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka, karena itu Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar pribadinya. Dalam kamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi berbagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah. Dengan gerakan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai
saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tangguh dan disegani musuh, kekuatan itu diperoleh berkat latihan- latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan.

Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH Murtadlo, KH Soleh dan KH Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH Hasyim Anwar dan KH Abdullah Abbas, putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahanannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terletak di dareah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecamatan Cipancur, Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke Yogyakarta.

Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Di antaranya adalah KH Mujahid, kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.

Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu, sebelum Kiai Abbas, sebagai Laskar andalannya, datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain. Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, Kiai Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng.

Sekitar tahun 1900, Kiai Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, Kiai Soleh Zamzam Benda Kerep, Kiai Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren tebuireng kapok tidak berani mengganggu lagi. 

Tradisi pesantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yang lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam totalitasnya. Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan. Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus digelar, terutama bagi kalangan muda yang baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah juga dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya penjajahan. Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu.

Mendengar hasil perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit. Kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Jumat pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.

Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Dan karena itu pula, ketika masa ramainya gerakan reformasi, pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalanagan NU maupun komunitas lainnya.  
Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan.

Sumber : nu.or.id
Bagikan Artikel Ini Ke Teman Anda

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah Yang Baik