Baca juga tulisan menarik lainnya
Memahami Eksistensi Rizqi Menurut Qur'an dan Hadist
Ada beberapa ayat Al Qur’an yang secara jelas mem bicarakan masalah rezeki, untuk menyebutkan beberapa diantaranya adalah yang terdapat dalam surat Ar Rum ayat 40, dimana dalam ayat ini Allah secara tegas menyatakan:
"Allah yang menciptakan kamu, kemudian Allah-lah yang memberi rezeki kepadamu"
(QS.Ar Rum: 40)
Dalam ayat lain juga disebutkan:
"Atau, siapa lagi yang akan memberi rezeki ke padamu jika Allah menahan rezeki-Nya?" (QS. Al Mulk:21)
Juga, dalam surat Hud, Allah secara eksplisit menyatakan kepada siapa rezeki itu akan Dia berikan:
"Dan tidak ada satu dabbah (binatang melata pun) di bumi ini kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya" (QS. Hud:6)
Tiga ayat diatas secara jelas menginformasikan bahwa Allah akan menjamin rezeki kepada seluruh makhluk-Nya; Dia-lah yang menciptakan seluruh makhluk di jagad raya ini dengan tanpa membiarkan mereka mati kelaparan. Allah menciptakan makhluk sekaligus menyediakan rezeki mereka. Pendek kata, ketika Allah menciptakan makhluk, maka ketika itu pula Allah menyediakan jatah rezeki kepada mereka..!
Berpijak dari ayat diatas, ditambah dengan penafsiran yang kurang mendalam dari ayat-ayat itu, maka ada satu persepsi dari banyak orang yang barang kali masih perlu diluruskan tentang pandangan mereka terhadap masalah rezeki.
Diakui atau tidak bahwa kita sering memahami ayat-ayat Al Qur’an secara mentah-mentah, termasuk pada ayat-ayat yang berbicara tentang rezeki. Kita sering langsung menyimpulkan bahwa Allah pasti akan memberi rezeki kepada manusia. setiap manusia yang masih punya nyawa, saat itulah Allah pasti akan memberi rezeki-Nya. Kesimpulan ini secara berlahan
akan memunculkan satu persepsi yang jauh lagi yakni bahwa masalah rezeki sudah ada jatah nya sendiri-sendiri; rezeki adalah sebuah takdir Tuhan yang sama sekali manusia tak berdaya untuk mengubahnya. Bagaimanapun maksimalnya upaya manusia ketika kerja, namun kalau takdir "jatah rezeki" nya hanya pas-pasan, maka ia tak akan memperoleh bagian rezeki lebih dari yang sudah dijatah tadi. Demikian sebaliknya, jika Tuhan memberikan "jatah rezeki"-Nya dengan jumlah yang banyak kepada sese orang, maka jangankan dia mau bekerja keras, seandainya tidak kerja pun jatah rezeki itu masih tetap akan jatuh ke tangannya, bukan jatuh ke tangan orang lain.
Benarkah pemahaman yang seperti itu.?
Diakui atau tidak bahwa ketika memahami ayat-ayat yang membicarakan tentang masalah rezeki kita jarang sekali mengajukan satu pertanyaan, "Bagaimana cara Allah memberi rezeki kepada makhluk-Nya, termasuk kepada manusia?. Apakah dengan cara langsung diturunkan dari langit, melalui proses pencarian, atau bagaimana?"
Persepsi yang akan muncul tentang rezeki jika pertanyaan diatas tidak diajukan adalah bahwa Allah akan memberikan rezeki-Nya kepada manusia dengan "tanpa apa" dan tidak melalui cara "yang bagaimana". Allah Maha Kuasa. Dia-lah pemilik jagad raya ini beserta semua isinya. Allah akan memberikan rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki, juga bisa saja menahan pemberian rezeki-Nya terha dap siapa saja yang dikehendaki pula. Jadi semuanya ada lah terserah Allah!
Sadar atau tidak bahwa persepsi demikian akan melahirkan sikap pesimistis. Orang-orang yang punya keyakinan seperti itu pasti memiliki sifat tawakkal yang keliru. Mereka biasanya tidak punya motivasi untuk bekerja keras. Etos kerja mereka rendah. Kemungkinan besar mereka punya pandangan bahwa bekerja hanya menyia-nyiakan waktu dan atau bahkan bisa
memalingkan diri dari mengingat Allah. Ah, mungkin orang-orang seperti itu lupa bahwa bekerja, dalam pandangan Islam dianggap sebagai ibadah!
Sekarang, untuk menghindari salah persepsi tentang konsep rezeki yang dinyatakan Al Qur’an, marilah kita kaji kembali ayat keenam dari surat Hud:
"Dan tidak ada satu dabbah (binatang melata pun) di bumi ini kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya" (QS. Hud:6)
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa lafad "dabbah" secara terminologi sesungguhnya mempunyai arti "yang bergerak". Dengan demikian ayat tersebut mengandung makna bahwa "Allah akan memberi dan menjamin rezeki kepada semua makhluk-Nya yang (mau) bergerak, dan bukan terhadap makhluk yang hanya diam". Bergerak yang dimaksud dalam ayat diatas adalah "yang mau berupaya", "yang mau mencari" dan "yang mau bekerja". Allah akan memberikan ja tah rezeki- Nya kepada orang-orang yang mau berupaya untuk mencari jatah yang sudah Dia berikan. Siapapun yang tidak punya upaya mencari, maka jatah rezeki itupun tak akan ia temukan. Hewan, misalnya jika hanya berdiam diri tak mau bergerak dan enggan mencari makanan, maka bisa saja hewan itu mati kelaparan. Begitu pula dengan manusia, jika mereka tak mau berupaya mengais rezeki dan mencarinya di bumi ini, maka jangan diharap dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jelaslah bahwa Allah tidak dengan serta-merta menjatah rezeki kepada seluruh manusia dengan tanpa melalui sebab apa-apa. Allah memberikan karunia rezeki melalui satu cara dalam bentuk upaya, yakni kerja. Ini artinya bahwa Allah memang telah memberi jatah rezeki kepada semua makhluk, sementara makhluk itu sendiri yang punya tanggungan untuk mencarinya. Allah menyediakan rezeki, sementara makhluk yang kebagian mencari dimana rezeki tersebut. Dari kenyataan ini maka upaya mencari rezeki dalam bentuk bekerja adalah satu keharusan. Bekerja adalah satu kewajiban yang harus dilakukan.
Mengapa demikian?
Sebab hanya kerja mengais rezeki itulah satu-satunya cara bagi manusia untuk bisa menemukan rezeki yang Allah berikan.
Al Qur’an sendiri memberikan sebuah keterangan dalam bentuk contoh betapa rezeki itu harus "dicari" dan bukan "ditunggu"kedatangannya. Dari seluruh kisah-kisah yang ditampilkan --sehubungan dengan masalah ini— Al Qur’an hanya mengisahkan dua contoh kasus bahwa ada rezeki itu yang langsung didatangkan Allah dari langit tanpa ada proses pencarian, yakni dalam kisah nabi Isa yang berdo’a minta diturunkan hidangan dari langit dan Allah pun mengabulkannya (lihat dalam surat Al Ma’idah ayat 114 s/d 115)
dan pada kisah Maryam yang diceritakan dalam surat Al Im ran ayat 37, setiap kali Maryam bertaqarrub kepada Allah di dalam mihrabnya selalu ditemukan sebuah hidangan makanan. Keajaiban ini disaksikan sendiri oleh Zakariyah, seorang nabi yang juga pengasuh Maryam. Zakariyah sendiri semula merasa heran. Dari manakah hidangan itu padahal dia tak merasa
menyiapkannya juga Maryam sendiri tak pernah terlihat membuatnya?.
"Hai Maryam, dari manakah kamu peroleh hidangan itu?", tanya zakariyah suatu saat.
"Hidangan ini dari Allah. Sesungguhnya Dia memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa harus melalui perhitungan!", jawab Maryam.
Dua contoh yang diketengahkan Al Qur’an sebagaimana diatas sebenarnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah dan argumentasi bahwa untuk memperoleh rezeki manusia tak harus mencarinya lewat bekerja. Atau, tidak dibenarkan pula bahwa untuk mendapatkan rezeki manusia cukup duduk ber dzikir dan bertaqarrub sepanjang hari. Dua contoh diatas sesungguhnya adalah merupakan mu’jizat yang hanya diberikan oleh Allah kepada para nabi, tidak kepada yang lain. Adanya mu’jizat itu sendiri pun ada tujuan khususnya, yakni untuk memperkuat kenabian seorang rasul. Dengan demikian keajaiban mu’jizat tak akan pernah bisa dilakukan dan dimiliki oleh seseorang yang bukan nabi. Dengan kata lain, hal yang bisa dilakukan nabi Isa dengan hanya memohon kepada Allah lalu langsung turun sebuah hidangan tak akan pernah bisa terjadi lagi sekarang, apalagi itu dilakukan oleh orang yang bukan Nabi Isa. Memang ada keajaiban yang "mirip" dengan adanya mu’jizat yang diberikan Allah kepada sebagian hamba-Nya yang bukan seorang nabi, yakni yang biasa disebut karamah. Itu artinya bisa saja hal yang hampir sama (bukan sa ma) bisa terjadi seperti adanya mu’jizat. Namun harus di pahami bahwa adanya karamah sendiri itu pun punya tujuan khusus sebagaimana adanya mu’jizat, yakni sebagai bukti akan tanda-tanda kebesaran Tuhan. Tujuan ini hanya diberlakukan oleh Allah secara khusus bukan secara umum. Itu artinya, kalau ada seseorang yang diberi karamah bisa mendatangkan rezeki tanpa melalui kerja itu hanya berlaku pada orang-orang tertentu bukan diberlakukan secara umum. Tujuannya jelas, yakni menunjukkan bahwa Allah maha kuasa atas segala-galanya. Tujuan adanya karamah seperti itu sama sekali bukan dimaksudkan untuk memberi contoh bahwa jika manusia ingin memperoleh rezeki yang banyak, cukup bagi mereka berdzikir dan bertaqarrub sepanjang hari tanpa harus repot-repot kerja.
Alasan lain mengapa manusia harus mencari rezeki dan bukan menunggu datangnya pemberian Tuhan dari langit adalah adanya kenyataan bahwa hampir seluruh tanaman dan binatang yang diciptakan Allah sebagai bahan makanan manusia dikemas dalam bentuk bahan yang masih mentah dan perlu diolah lagi untuk bisa dikonsumsi. Bahkan lebih jauh dari itu, untuk bisa mengkonsumsi makanan, misalnya manusia masih harus repot menanam padi, merawatnya, memanen nya,menggilingnya, memasaknya, baru bisa memakannya. Apa arti semuanya itu? Mengapa Allah tidak menjadikan nasi, makanan pokok manusia dalam bentuk yang sudah jadi hingga manusia bisa langsung bisa memakannya. Mengapa Allah menjadikan nasi,baru bisa dimakan setelah melalui proses ya ng begitu panjang? Jawabannya sudah jelas bahwa Allah tak mau menjadikan sesuatu yang dibutuhkan manusia itu dalam bentuk jadi hingga manusia dengan mudah memperolehnya. Bukannya Allah tak sayang pada manusia. Namun hal demikian lebih dimaksudkan untuk memberi pelajaran kepada manusia bahwa untuk mendapatkan sesuatu, tak terkecuali mendapat kan rezeki manusia harus berupaya bukan dengan diam saja. Pendek kata, Allah memang menjatah rezeki kepada manusia, namun Allah tak serta merta memberikan rezeki tersebut langsung dari langit. Manusia harus berupaya mencari rezeki tersebut dan bukan menunggu kedatangannya. Dari sini manusia harus bekerja. Lebih jauh dari itu Islam sendiri ternyata menganggap bahwa kerja adalah ibadah. Jadi, tak diragukan lagi jika manusia ingin mendapatkan rezeki yang melimpah maka wajib baginya bekerja.!
Ya..,Dengan bekerja maka rizqi akan di dapat.
Wa Allohu A'lam.