Baca juga tulisan menarik lainnya
Pada ayat berikut dalam Al-Qur'an dengan jelas Allah berjanji akan menambahkan rezeki-Nya kepada manusia:
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih"
(QS. Ibrahim: 7)
Ayat diatas memberikan satu kejelasan bahwa Allah akan menambahkan rezeki-Nya kepada manusia yang mau ber syukur. Ini adalah sebuah janji, dan Tuhan tak akan pernah mengingkari apa yang Dia janjikan sendiri. Jadi jelas, jika manusia mau bersyukur maka dengan itu manusia akan memperoleh nikmat yang lebih.
Ini bisa diartikan pula bahwa ketika manusia mau bersyukur terhadap nikmat rezeki yang sudah diberikan Allah, maka saat itulah dia akan memperoleh nikmat rezeki yang lebih dari apa yang sudah dan yang seharusnya akan dia terima.
Pendek kata dengan syukur manusia akan memperoleh rezeki yang lebih dari jatah yang sudah ditetapkan!
Sekali lagi ini adalah sumpah Tuhan kepada manusia. Dan dengan sumpah itu pula seakan-akan Tuhan ingin menunjukkan sebuah rahasia bahwa diantara sekian kunci misteri yang bisa membuka pintu rezeki adalah dengan bersyukur. Ini artinya jika manusia ingin mendapatkan limpahan rezeki yang berlipat ganda ataupun ingin menjadi cepat kaya, maka kuncinya hanya terletak pada sifat syukur tersebut. Semudah itukah? Ya, betul semudah itu!
Syukur memang mudah diucapkan namun teramat sulit untuk dilakukan. Apalagi syukur adalah sebuah sifat yang kaitannya dengan pekerjaan hati, maka sifat ini hanya bisa dirasakan dalam kalbu. Kalau pun sifat tersebut nampak dalam tindakan, itu hanya sebagian kecil dari indikasi syukur. Inipun tidak bisa menjadi ukuran, sebab tindakan bisa saja dibuat dusta oleh pelakunya.
Sebagai satu sifat yang teramat sulit untuk dilakukan, terkadang seseorang salah dalam mengamalkan sifat syukur ini. Ada sebagian, atau bahkan banyak orang yang terkadang berkata pada dirinya sendiri, "Saya sudah bersyukur, namun mengapa Allah masih belum menambahkan karunia rezeki?". Dalam posisi demikian sesungguhnya yang perlu dipertanyakan bukan janji Allah, namun yang perlu dikoreksi adalah sifat syukur itu sendiri.
Sudah benarkah kita melakukan syukur? Apakah syukur yang kita jalani sudah sesuai dengan syukur yang telah dikonsepkan oleh agama?
Lewat kisah nabi Sulaiman, Al Qur’an sesungguhnya telah memberikan sebuah contoh bagaimana cara bersyukur yang benar. Ketika nabi Sulaiman mendapatkan banyak karunia dari Allah yang berupa banyaknya harta, tahta, sampai pada takluknya semua makhluk kepadanya, menerima itu semua nabi Sulaiman mengatakan "Sungguh, ini adalah sebuah karunia dari Allah untuk menguji apakah aku termasuk orang yang bersyukur atau malah termasuk orang yang kufur te rhadap nikmat-Nya".
Sungguh, seperti itulah ucapan orang syukur yang sebenarnya. Ucapan tersebut bukan hanya sekedar keluar dari mulut, namun lebih dari itu ia keluar dari dalam lubuk hati yang paling dalam. Sebagaimana yang diucapkannya sendiri, nabi Sulaiman sadar bahwa segala apa yang telah dia capai dalam hidup hanyalah merupakan karunia dari Allah, tak lebih dari itu. Dia sadar sepenuhnya bahwa kekayaan yang dia dapat dan kedudukan yang telah dia raih tiada akan terwujud tanpa adanya pemberian Allah.Nabi Sulaiman sesungguhnya telah yakin dengan sepenuhnya bahwa harta benda dan tahta yang dia punya bukan lahir dari hasil kerja kerasnya sendiri, melainkan semua itu atas dasar pemberian Allah. Jika Allah tak berkenan memberikan itu semua, tak akan pernah mungkin dia punya segala sesuatu seperti saat itu.
Syukur, sebagaimana yang diajarkan Al Qur’an lewat kisah nabi Sulaiman ternyata adalah sebuah mentalitas, sebuah penyikapan yang benar terhadap karunia Tuhan. Syukur adalah sikap yang didasarkan pada keyakinan bahwa semua yang telah diperoleh di dunia ini hanyalah karena karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia, bukan karena hal-hal lain. Manusia baru bisa disebut syukur jika saat mendapatkan kesuksesan dalam hati dia berkata, "Semua ini sesungguhnya dari Allah, dan bukan karena kepandaian yang aku miliki". Baru dikatakan syukur juga ketika seorang manusia mendapatkan rezeki yang melimpah dia menganggap bahwa semua itu adalah dari karunia Tuhan bukan dari hasil kerja kerasnya.
Teramat sulit memang punya sikap dan mental seperti itu. Apalagi akal kita sering kali membenarkan bahwa apa yang selama ini kita peroleh adalah murni dari hasil kerja keras kita sendiri. Disinilah letak betapa sulitnya manusia bisa bersyukur kepada Allah.
Kebanyakan manusia menganggap bahwa kekayaan yang didapat, kedudukan yang di raih dan rezeki banyak yang telah diperoleh adalah dari hasil kerja keras mereka sendiri. Dalam keadaan demikian, secara tidak sadar manusia sesungguhnya lupa kepada Dzat yang telah memberi rezeki. Manusia lupa akan kekuasaan Tuhan bahkan telah meniadakan peranan-Nya. Pada saat manusia menganggap bahwa apa yang telah dia dapat itu adalah hanya dari kemampuan diri mereka sendiri, maka pada saat itu sebenarnya mereka tidak mengakui bahwa Allah-lah yang berada dibalik kesuksesannya.
Memang secara rasional bisa dibenarkan kalau kita menganggap bahwa kesuksesan adalah berasal dari hasil kerja keras yang didukung oleh kemampuan seseorang. Namun kalau kita mau berfikir secara mendalam dengan melihat sebab-sebab yang lebih jauh lagi, pada titik akhir kita akan menemukan satu kesimpulan bahwa semua apa yang dimiliki manusia sesungguhnya merupakan pemberian dan karunia dari Allah, termasuk kemampuan manusia bisa bekerja keras dan bisa memiliki kemampuan.
Mengapa manusia bisa melakukan kerja keras? Jawabnya, karena manusia punya tenaga dan kekuatan untuk itu. lantas dari mana manusia punya tenaga dan kekuatan?. Tentu jawabannya adalah dari Allah. Seandainya Allah tidak memberikan kekuatan dan tenaga kepada manusia, mana mungkin manusia bisa bekerja?
Kalau seandainya Allah tidak memberikan pengetahuan kepada manusia dari mana mereka bisa menggunakan akalnya untuk mengais rezeki.
Jadi sudah jelas sekarang bahwa semua yang telah diraih manusia lewat kerja keras, penyebab dan sumber utamanya sebenarnya berasal dari Allah.
Dan berpijak dari sini, maka yang dinamakan syukur yang benar adalah menyikapi kesuksesan dalam bentuk apapaun sebagai pemberian karunia Allah, tak lebih dari itu. Manusia baru bisa dianggap bersyukur jika punya mentalitas seperti yang dipunyai nabi Sulaiman. Dan manusia baru bisa bersikap syukur jika mereka membuang jauh-jauh keangkuhan dan ego mereka yang selalu meyakini bahwa kesuksesan adalah dari hasil kerja keras yang mereka lakukan.
Karena syukur adalah sebuah mentalitas dari penyikapan seorang manusia terhadap karunia Tuhan, maka syukur pasti akan nampak pada prilaku yang lebih nyata. Agama menetapkan bahwa diantara sekian tanda-tanda orang yang bersyukur adalah mereka yang menggunakan harta kekayaannya sesuai dengan ajaran Allah. Seseorang baru dikatakan bersyukur jika harta benda yang dia punya dibelanjakan sesuai dengan yang diperintahkan agama; digunakan pada jalan kebaikan bukan pada jalan kemaksiatan.
Demikian arti syukur yang sesungguhnya. Jika seorang manusia sudah melakukan rasa syukur ini dengan benar, maka yakinlah bahwa Allah pasti akan menambahkan karunianya. Sebaliknya jika manusia tidak mau bersyukur tapi malah kufur terhadap nikmat, maka nantikanlah; suatu saat ad zab Allah pasti akan datang!
Muncul satu pertanyaan sekarang, dalam bentuk apa Allah memberikan tambahan karunia kepada orang-orang yang mau bersyukur?
Ada dua kemungkinan dalam hal ini. Pertama, Allah akan melebihkan tambahan karunia-Nya dalam bentuk materi. Dengan kata lain, ketika seseorang mau mensyukuri rezeki yang telah dia terima, maka pada saat itu Allah akan menambahkan kwantitas rezeki-Nya. Dalam posisi ini, dengan syukur seseorang akan mendapatkan rezeki yang lebih berlimpah ruah.
Kedua, Allah akan melebihkan tambahan karunia-Nya secara non materi. Dalam hal ini bukan kwantitas rezeki yang tambahkan oleh Allah, namun pada kwalitasnya.
Tambahan karunia yang diberikan oleh Allah bukan pada jumlahnya, namun pada sisi yang lain, yakni bertambahnya barakah dalam rezeki yang sudah diterima. Dengan rezeki yang barakah ini, biarpun nilai jumlahnya tidak banyak, namun semua kebutuhan keluarga bisa tercukupi tanpa adanya kekurangan. Rezeki seperti inilah yang disebut sebagai rezeki yang barakah.
Demikian memahami bersyukur atas nikmat alloh.
Wa Allohu A'lam.