Baca juga tulisan menarik lainnya
Picture : layar kemilau MncTV |
(al-Baqarah 97)
Takwa sebagai bekal mengharuskan
seseorang menjauhi hal-hal yang dilarang dalam agama, termasuk biaya
haji yang didapat dengan cara yang haram. Hal ini diperkuat dengan hadis
Qudsi: “Idza hajja rajulun bi malin min ghairi hillihi fa qala labbaika
Allahumma labbaika. Qala Allahu la labbaika wa la sa’daika, hadza
mardudun”, artinya: “Jika seseorang melakukan haji dengan harta yang
tidak halal, lalu dia membaca talbiyah ‘labbaika wa la sa’daika’, maka
Allah menjawab: Tidak ada ‘labbaika wa la sa’daika’, hajinya ditolak”.
(HR Ibnu Adi I/130 dan Dailami I/161, diperkuat dengan riwayat al-Bazzar)
(HR Ibnu Adi I/130 dan Dailami I/161, diperkuat dengan riwayat al-Bazzar)
Dan hadis: “Apabila seseorang melakukan
ibadah haji dengan harta yang halal dan telah menaiki kendaraannya, maka
ada seruan dari langit ‘Labbaika wa Sa’daika. Bekalmu halal,
kendaraanmu halal dan hajimu mabrur’. Dan jika ia berhaji dengan harta
yang haram dan menaiki kendaraan, maka ada seruan malaikat dari langit:
“Tidak ada talbiyah bagimu. Bekalmu haram, hartamu haram dan hajimu
tidak mabrur”
(HR Thabrani dalam al-Ausath No 5228).
(HR Thabrani dalam al-Ausath No 5228).
جامع الأحاديث القدسية (ص: 12)
( إذا حج رجل بمال من غير حله فقال: لبيك اللهم لبيك قال الله: لا لبيك ولا سعديك هذا مردود عليك ) لابن عدى والديلمى في الفردوس، ابن عدي ( 130/1 ) والديلمي في ” مسنده ” ( 1/1/161 ) وله شاهد من رواية البزار كما في كشف الخفاء
جمع الجوامع أو الجامع الكبير للسيوطي (ص: 2182)
1843) إذا خرج الحاجُّ حاجًّا بنفقةٍ طيبةٍ ووضع رجلَه فى الغَرْزِ فنادى لبيك ناداه منادٍ من السماءِ لبيك وسعديك زادُك حلالٌ وراحلتُك حلالٌ وحجُّك مبرورٌ غيرُ مأزورٍ وإذا خرج بالنفقة الخبيثة فوضع رجلَه فى الغرز فنادى لبيك ناداه مَلَكٌ من السماءِ لا لبيك ولا سعديك زادُك حرامٌ ونفقتُك حرام وحجُّك غيرُ مبرورٍ (الطبرانى فى الأوسط عن أبى هريرة) [المناوى]
أخرجه الطبرانى فى الأوسط (5/251 ، رقم 5228) قال الهيثمى (10/292) : فيه سليمان بن داود اليمامى ، وهو ضعيف . وأخرجه أيضًا : البزار كما فى كشف الأستار (2/6 ، رقم 1079) .
Ibadah Haji merupakan ibadah yang menggabungkan antara kemampuan fisik dan finansial. Dua kemampuan ini menjadi syarat wajibnya haji. Allah berfirman,
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran: 97).
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang makna istitha’ah dalam ayat di atas. Lalu beliau menjawab,
“Bekal dan kendaraan.” (HR. Turmuzi 818, Ibn Majah 2897, dan dinilai dhaif sekali oleh al-Albani)
Namun pada prinsipnya, kemampuan finansial menjadi bagian penting dalam haji.
Kaitannya dengan ini, kita hendak menyimpulkan bahwa haji adalah ibadah badaniyah dan maliyah.
Karena ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba ketika beribadah, ulama membaginya menjadi 3,
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.
Sebagian ulama memberikan satu kaidah, ibadah maliyah tidak diterima jika diambilkan dari harta yang haram.
Dr. Abbas Ahmad al-Baz menjelaskan,
Ibadah maliyah tidak diterima di sisi Allah ta’ala, kecuali jika dari sumber usaha yang diizinkan syariat. Karena hasil dari yang halal adalah halal dan hasil dari sumber yang haram adalah haram. (Ahkam al-Mal al-Haram, hlm 291).
Kaidah ini berdasarkan hadist,
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah dari harta ghulul (HR. Muslim 224, Nasai 139, dan yang lainnya).
Karena Allah hanya menerima zakat, infak, dan sedekah dari harta yang baik dan halal.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma yang berasal dari usahanya yang halal lagi baik, Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi baik, maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharnya untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung”. (Muttafaq ’alaih).
Apakah kepemilikan harta yang ada di tangan jamaah haji merupakan syarat sah haji. Dimana status keabsahan haji tergantung pada status kepemilikan harta. Sehingga jika harta ini dimiliki dengan cara yang tidak halal, maka haji tidak sah.
Ataukah keberadaan harta ini hanya syarat wajib hajib. Artinya, ketika seseorang bisa membiayai dirinya berangkat haji maka dia wajib haji. Terlepas dari sumber apapun dia mendapatkan biaya itu.
Pendapat pertama, hajinya sah, meskipun dia berdosa dengan menggunakan harta haram.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam Malikiyah serta pendapat sebagian ulama hambali.
Mereka beralasan bahwa keberadaan harta, bukan syarat sah haji, namun syarat wajib haji. Karena inti haji adalah melaksanakan manasik sesuai yang dituntunkan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan status harta yang digunakan untuk mendanai kegiatan itu.
Sebagaimana shalat tetap sah, sekalipun baju yang dikenakan hasil korupsi. Membaca al-Quran tetap sah, sekalipun mushaf yang dibaca hasil mencuri, dst.
Ketika hajinya dinilai sah, maka dianggap sudah menggugurkan kewajiban.
Ibnu Abidin menjelaskan berhaji dengan harta haram,
Alasan yang diberikan bahwa haji sendiri, yang kegiatannya mengunjungi tempat-tempat khusus, bukanlah amalan haram. Yang haram adalah penggunaan harta yang haram. Dan tidak ada keterkaitan antara keduanya. Sebagaimana shalat di tanah ghasab (rampasan), dianggap menggugurkan kewajiban (sah). Namun yang haram adalah menggunakan tanah rampasan itu, dan bukan kegiatan shalatnya. (Hasyiyah Ibn Abidin, 2/456).
Dalam madzhab Malikiyah, al-Wansyarisi – ulama malikiyah – (w. 914 H) menjelaskan,
Ketika orang berhaji dengan harta hasil merampas, maka dia wajib ganti rugi, namun hajinya sah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (al-Miyar al-Muarab, 2/44).
An-Nawawi – ulama syafiiyah – menjelaskan,
Orang yang berhaji dengan harta haram atau naik kendadaraan hasil merampas, maka dia berdosa dan hajinya sah serta telah menggugurkan kewajiban menurut kami. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, al-Abdari, dan pendapat mayoritas ulama. Sementara Imam Ahmad mengatakan, “Hajinya tidak sah.” Alasan kami (syafiiyah), bahwa haji merupaka amalan khusus. Sementara haramnya harta, itu faktor luar. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 7/62).
Pendapat kedua, hajinya tidak sah.
Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali dan Malikiyah.
Karena biaya haji, bagian dari syarat sah pelaksanaan haji. Meskipun pada asalnya ini syarat wajib haji, namun syarat wajib dalam ibadah maliyah, sekaligus menjadi syarat sah.
Al-Wansyarisi menyebutkan keterangan sebagian ulama maliki,
Sebagian ulama malikiyah ditanya tentang orang yang berangkat haji dengan harta haram, apakah menurut anda itu bisa menggugurkan kewajiban, dan wajib mengganti harta kepada pemiliknya?
Beliau menjawab,
Dalam madzhab kami, itu tidak sah. Sementara dalam madzhab as-Syafi’i, itu boleh. Dan dia wajib mengembalikan hartanya, dan berhaji dengan baik. (al-Mi’yar al-Muarab, 2/43).
Al-Wansyarisi juga menyebutkan keterangan Ibnul Muhriz,
Haji itu ibadah. Karena itu, jangan didanai kecuali dari hasil yang halal. Diriwayatkan sebuah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, lalu dia bertalbiyah, “Labbaik..” maka dijawab untuknya, “Tidak ada labbaik dan tidak ada sa’daik.., pulanglah dengan membawa dosa dan bukan pahala.”.’
(al-Mi’yar al-Muarab, 2/42)
Hadis yang dibawakan Ibnul Muhriz, disebutkan al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, dan statusnya dhaif sekali.
Ibnu Rajab – ulama hambali – menjelaskan.
Haji dengan harta hasil rampasan, tentang status keabsahannya, ada dua riwayat. Ada yang mengatakan, bahwa harta merupakan syarat wajib haji. Dan syarat wajib, seperti syarat sah. (al-Qawaid al-Fiqhiyah, hlm. 23)
Kesimpulan :
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa haji dengan harta haram hukumnya sah, telah menggugurkan kewajiban, meskipun sangat tidak berkualitas. Karena inti haji adalah aktivitas manasik selama masa haji, dengan aturan sebagaimana yang disebutkan dalam fiqh haji.
Selama jamaah haji melakukan semua aktivitas manasik itu dengan baik, memenuhi semua rukun, syarat dan tidak melakukan pembatal, maka hajinya sah.
Hanya saja kesimpulan ini tidak berkaitan dengan apakah hajinya diterima ataukah tidak. Karena yang dibahas dalam hal ini adalah apakah hajinya sah atau tidak. Jika sah, berarti telah menggugurkan kewajiban.
Sebaliknya, jika tidak sah, berarti belum menggurkan kewajiban.
Apakah diterima oleh Allah? Ini di luar pengetahuan manusia.
Allahu a’lam.
Source : konsultasi.syari'ah.com
( إذا حج رجل بمال من غير حله فقال: لبيك اللهم لبيك قال الله: لا لبيك ولا سعديك هذا مردود عليك ) لابن عدى والديلمى في الفردوس، ابن عدي ( 130/1 ) والديلمي في ” مسنده ” ( 1/1/161 ) وله شاهد من رواية البزار كما في كشف الخفاء
جمع الجوامع أو الجامع الكبير للسيوطي (ص: 2182)
1843) إذا خرج الحاجُّ حاجًّا بنفقةٍ طيبةٍ ووضع رجلَه فى الغَرْزِ فنادى لبيك ناداه منادٍ من السماءِ لبيك وسعديك زادُك حلالٌ وراحلتُك حلالٌ وحجُّك مبرورٌ غيرُ مأزورٍ وإذا خرج بالنفقة الخبيثة فوضع رجلَه فى الغرز فنادى لبيك ناداه مَلَكٌ من السماءِ لا لبيك ولا سعديك زادُك حرامٌ ونفقتُك حرام وحجُّك غيرُ مبرورٍ (الطبرانى فى الأوسط عن أبى هريرة) [المناوى]
أخرجه الطبرانى فى الأوسط (5/251 ، رقم 5228) قال الهيثمى (10/292) : فيه سليمان بن داود اليمامى ، وهو ضعيف . وأخرجه أيضًا : البزار كما فى كشف الأستار (2/6 ، رقم 1079) .
Ibadah Haji merupakan ibadah yang menggabungkan antara kemampuan fisik dan finansial. Dua kemampuan ini menjadi syarat wajibnya haji. Allah berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran: 97).
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang makna istitha’ah dalam ayat di atas. Lalu beliau menjawab,
الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ
“Bekal dan kendaraan.” (HR. Turmuzi 818, Ibn Majah 2897, dan dinilai dhaif sekali oleh al-Albani)
Namun pada prinsipnya, kemampuan finansial menjadi bagian penting dalam haji.
Kaitannya dengan ini, kita hendak menyimpulkan bahwa haji adalah ibadah badaniyah dan maliyah.
Karena ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba ketika beribadah, ulama membaginya menjadi 3,
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.
Sebagian ulama memberikan satu kaidah, ibadah maliyah tidak diterima jika diambilkan dari harta yang haram.
Dr. Abbas Ahmad al-Baz menjelaskan,
العبادة المالية لا تكون مقبولة عن الله تعالى الا إذا كانت من مصدر كسب مشروع، لأن ثمرة الحلال حلال؛ وثمرة الحرام حرام
Ibadah maliyah tidak diterima di sisi Allah ta’ala, kecuali jika dari sumber usaha yang diizinkan syariat. Karena hasil dari yang halal adalah halal dan hasil dari sumber yang haram adalah haram. (Ahkam al-Mal al-Haram, hlm 291).
Kaidah ini berdasarkan hadist,
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah dari harta ghulul (HR. Muslim 224, Nasai 139, dan yang lainnya).
Karena Allah hanya menerima zakat, infak, dan sedekah dari harta yang baik dan halal.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ،
وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا
بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ
فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَل
Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma yang berasal dari usahanya yang halal lagi baik, Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi baik, maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharnya untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung”. (Muttafaq ’alaih).
Sah Atau Tidak Hukum Haji dengan Uang Haram.?
Ulama berbeda pendapat ketika menentukan posisi kepemilikan harta dalam ibadah haji.Apakah kepemilikan harta yang ada di tangan jamaah haji merupakan syarat sah haji. Dimana status keabsahan haji tergantung pada status kepemilikan harta. Sehingga jika harta ini dimiliki dengan cara yang tidak halal, maka haji tidak sah.
Ataukah keberadaan harta ini hanya syarat wajib hajib. Artinya, ketika seseorang bisa membiayai dirinya berangkat haji maka dia wajib haji. Terlepas dari sumber apapun dia mendapatkan biaya itu.
Pendapat pertama, hajinya sah, meskipun dia berdosa dengan menggunakan harta haram.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam Malikiyah serta pendapat sebagian ulama hambali.
Mereka beralasan bahwa keberadaan harta, bukan syarat sah haji, namun syarat wajib haji. Karena inti haji adalah melaksanakan manasik sesuai yang dituntunkan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan status harta yang digunakan untuk mendanai kegiatan itu.
Sebagaimana shalat tetap sah, sekalipun baju yang dikenakan hasil korupsi. Membaca al-Quran tetap sah, sekalipun mushaf yang dibaca hasil mencuri, dst.
Ketika hajinya dinilai sah, maka dianggap sudah menggugurkan kewajiban.
Ibnu Abidin menjelaskan berhaji dengan harta haram,
فقد يقال إن الحج نفسه الذي هو زيارة مكان مخصوص الخ ليس
حراما بل الحرام هو إنفاق المال الحرام ولا تلازم بينهما كما أن الصلاة في
الأرض المغصوبة تقع فرضا وإنما الحرام شغل المكان المغصوب لا من حيث كون
الفعل صلاة
Alasan yang diberikan bahwa haji sendiri, yang kegiatannya mengunjungi tempat-tempat khusus, bukanlah amalan haram. Yang haram adalah penggunaan harta yang haram. Dan tidak ada keterkaitan antara keduanya. Sebagaimana shalat di tanah ghasab (rampasan), dianggap menggugurkan kewajiban (sah). Namun yang haram adalah menggunakan tanah rampasan itu, dan bukan kegiatan shalatnya. (Hasyiyah Ibn Abidin, 2/456).
Dalam madzhab Malikiyah, al-Wansyarisi – ulama malikiyah – (w. 914 H) menjelaskan,
إذا حج بمال مغصوب ضمنه وأجزأه حجه، وهذا قول الجمهور
Ketika orang berhaji dengan harta hasil merampas, maka dia wajib ganti rugi, namun hajinya sah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (al-Miyar al-Muarab, 2/44).
An-Nawawi – ulama syafiiyah – menjelaskan,
إذا حج بمال حرام، أوراكباً دابة مغصوبة أثم وصح حجه،
وأجزأه عندنا، وبه قال أبو حنيفة ومالك والعبدري، وبه قال أكثر الفقهاء،
وقال أحمد: لا يجزئه، ودليلنا أن الحج أفعال مخصوصة، والتحريم لمعنى خارج
عنها
Orang yang berhaji dengan harta haram atau naik kendadaraan hasil merampas, maka dia berdosa dan hajinya sah serta telah menggugurkan kewajiban menurut kami. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, al-Abdari, dan pendapat mayoritas ulama. Sementara Imam Ahmad mengatakan, “Hajinya tidak sah.” Alasan kami (syafiiyah), bahwa haji merupaka amalan khusus. Sementara haramnya harta, itu faktor luar. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 7/62).
Pendapat kedua, hajinya tidak sah.
Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali dan Malikiyah.
Karena biaya haji, bagian dari syarat sah pelaksanaan haji. Meskipun pada asalnya ini syarat wajib haji, namun syarat wajib dalam ibadah maliyah, sekaligus menjadi syarat sah.
Al-Wansyarisi menyebutkan keterangan sebagian ulama maliki,
وسئل بعضهم عمن حج بمال حرام، أترى ذلك مجزياً عنه، ويغرم
المال لأصحابه؟ فأجاب: أما في مذهبنا فلا يجزئه، وأما في قول الشافعي فذلك
جـائز، ويرد المـال، ويطيب له حجه
Sebagian ulama malikiyah ditanya tentang orang yang berangkat haji dengan harta haram, apakah menurut anda itu bisa menggugurkan kewajiban, dan wajib mengganti harta kepada pemiliknya?
Beliau menjawab,
Dalam madzhab kami, itu tidak sah. Sementara dalam madzhab as-Syafi’i, itu boleh. Dan dia wajib mengembalikan hartanya, dan berhaji dengan baik. (al-Mi’yar al-Muarab, 2/43).
Al-Wansyarisi juga menyebutkan keterangan Ibnul Muhriz,
الحج قربة، فلا ينفق فيه إلا الطيب من الكسب. فقد رُويَ
عنه في الحديث صلى الله عليه وسلم أنه قال: مَنْ حَجَّ بمَالٍ حَرَام
فَقَال لَبِّيْكَ نودي لا لّبَّيْك وَلاَ سَعْدَيك، فارجع مأزُوراً غَيْرَ
مأجُورٍ
Haji itu ibadah. Karena itu, jangan didanai kecuali dari hasil yang halal. Diriwayatkan sebuah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, lalu dia bertalbiyah, “Labbaik..” maka dijawab untuknya, “Tidak ada labbaik dan tidak ada sa’daik.., pulanglah dengan membawa dosa dan bukan pahala.”.’
(al-Mi’yar al-Muarab, 2/42)
Hadis yang dibawakan Ibnul Muhriz, disebutkan al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, dan statusnya dhaif sekali.
Ibnu Rajab – ulama hambali – menjelaskan.
وأما الحج بالمال المغصوب ففي صحته روايتان فقيل لأن المال شرط لوجوبه وشرط الوجوب كشرط الصحة
Haji dengan harta hasil rampasan, tentang status keabsahannya, ada dua riwayat. Ada yang mengatakan, bahwa harta merupakan syarat wajib haji. Dan syarat wajib, seperti syarat sah. (al-Qawaid al-Fiqhiyah, hlm. 23)
Kesimpulan :
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa haji dengan harta haram hukumnya sah, telah menggugurkan kewajiban, meskipun sangat tidak berkualitas. Karena inti haji adalah aktivitas manasik selama masa haji, dengan aturan sebagaimana yang disebutkan dalam fiqh haji.
Selama jamaah haji melakukan semua aktivitas manasik itu dengan baik, memenuhi semua rukun, syarat dan tidak melakukan pembatal, maka hajinya sah.
Hanya saja kesimpulan ini tidak berkaitan dengan apakah hajinya diterima ataukah tidak. Karena yang dibahas dalam hal ini adalah apakah hajinya sah atau tidak. Jika sah, berarti telah menggugurkan kewajiban.
Sebaliknya, jika tidak sah, berarti belum menggurkan kewajiban.
Apakah diterima oleh Allah? Ini di luar pengetahuan manusia.
Allahu a’lam.
Source : konsultasi.syari'ah.com
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik