Baca juga tulisan menarik lainnya
Ia adalah salah seorang ulama Al-Quran yang shalih, wara’, dan kharismatik. Beberapa ulama thariqah juga meyakini pengasuh pesantren terkemuka ini adalah waliyullah.
Di era tahun 1970 hingga 1980an, di Jawa ada beberapa ulama yang dikenal sebagai ahlul Quran, pemegang otoritas pengajaran Al-Quran yang mu’tabar. Selain mengajarkan pembacaan dan penghafalan Al-Quran yang memiliki sanad yang musalsal, diakui kebersambungannya, hingga Rasulullah SAW, mereka juga diyakini mendapat anugerah khusus dari Allah berupa pengetahuan tentang sebagian asrar Al-Quran, rahasia spiritual Al-Quran.
Di antara ulama ahlul Quran yang termasyhur pada kurun tersebut adalah K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan, pengasuh Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah. Kedalaman ilmu murid kesayangan K.H.R. Muhammad Moenawwir Krapyak,Yogyakarta, itu diakui oleh ulama pesantren pada masanya dan pemerintah. Terbukti dari penunjukannya sebagai juri MTQ Internasional tahun 1953 yang digelar di Jakarta, padahal waktu itu usianya baru 37 tahun.
Di bawah kepemimpinan sang ahlul Quran tak mengherankan jika Pesantren Mangkuyudan, demikian lembaga pendidikan itu biasa disingkat, kemudian menjadi salah satu tujuan favorit para santri. Baik mereka yang baru akan menghafal Al-Quran, maupun yang sudah hafal dan hendak mengaji tabarukan. Bahkan hingga kini, 28 tahun setelah sang allamah wafat, makamnya di kompleks Pesantren Al-Muayyad masih kerap diziarahi, terutama pada malam peringatan haulnya yang jatuh pada tanggal 21 Ramadhan.
Tak hanya menguasai pelbagai ilmu Al-Quran, Mbah Kiai Umar juga dikenal sebagai ahli fiqih jempolan. Pengakuan akan hal itu terbukti dari pengangkatannya sebagai hakim agama di kodya Surakarta, dan belakangan menjadi kepala Pengadilan Agama Tinggi se Jawa-Madura hingga wafatnya.
Selain itu, beberapa tokoh thariqah juga pernah menceritakan bahwa Kiai Ahmad Umar adalah salah salah seorang mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang mengambil ijazahnya dari K.H. Manshur, Popongan, Klaten. Namun dalam ranah thariqah ini, konon hingga wafatnya Kiai Umar tidak pernah mengangkat satu orang murid pun.
Sementara dalam hal memberikan ijazah sanad Al-Quran, Kiai Umar juga terbilang sangat berhati-hati. Meski murid tahfizhul Qurannya ribuan, hanya beberapa gelintir santri saja kemudian diketahui telah mendapatkan ijazah sanad Al-Quran. Hal ini disebabkan persyaratan ketat yang ditetapkan sang kiai yang meliputi akhlaq, ketekunan dalam beribadah serta kesungguhan dalam mengaji.
Mengisi Bak Mandi.
Dari penuturan keluarga serta para alumni yang pernah mengaji langsung kepada Kiai Umar, banyak hal istimewa dan mengandung keteladanan yang tertoreh dalam sejarah hidup sang allamah.
Ahmad Umar yang lahir pada 5 Agustus 1916 adalah putra Kiai Abdul Manan bin Chasan Adi, sang kakek adalah ulama yang diangkat oleh Keraton Kasunanan Surakarta menjadi demang di Wonogiri. Bercita-cita menjadi penghafal Al-Quran, sang ayah, Abdul Mannan, berguru kepada Kiai Ahmad di Pesentren Kadirejo, Karanganom, Klaten. Namun sang guru yang waskita jauh-jauh hari telah memberitahunya, bukan ia yang akan berhasil menjadi hafizhul Quran, tetapi anak cucunya.
Mendengar hal itu, Abdul Mannan pun mengganti usahanya menghafal dengan tirakat mendoakan anak cucunya tanpa kenal lelah. Selama nyantri di Kadirejo, misalnya, setiap malam dengan diam-diam ia selalu mengisi bak mandi pengasuh pesantrennya sampai airnya penuh meluber sambil membaca kalimat tasbih. Di tengah tirakatnya yang berlangsung sekitar dua tahunan itu ia juga berdoa semoga anak keturunannya akan memiliki ilmu yang berlimpah dan bermanfaat laksana sumur yang selalu menyediakan air bagi yang membutuhkan dan kolam yang airnya meluber membasahi sekitarnya.
Tentu saja awalnya sang guru terheran-heran setiap kali akan berwudhu, sebelum shalat tahajud, karena bak mandinya penuh berisi air. Dengan mata batinnya, kemudian ia tahu siapa yang telah melakukannya. Kiai Ahmad pun lalu mendoakan Abdul Mannan agar tirakat yang dilakukannya diterima dan cita-citanya dikabulkan oleh Allah SWT.
Doa itu terwujud kelak dikemudian hari, empat dari sembilan anak Abdul Manan menjadi penghafal Al-Quran. Mereka adalah Ahmad Umar, Muhammad Nidhom, Ahmad Jisam, dan Musyarofah. Lima anak lain meski tidak hafal namun telah menkhatamkan Al-Quran dengan bin nazhar alias membaca dengan fasih, tartil, dan lancar.
Ahmad Umar sendiri sebelum menjadi ulama Al-Quran yang jempolan sempat malang melintang mengaji di berbagai pesantren. Sebelum berangkat ke pesantren, ia mengawalinya dengan mengaji Al-Quran kepada Prof. K.H. R. Muhammad Adnan, alias Den Kaji Ngadenan, di kampung Tegalsari, Solo. Setelah itu barulah Umar nyantri di pesantren Tremas, Arjosari, Pacitan yang diasuh K.H. Dimyathi Abdullah.
Proses nyantri pertama itu sendiri bukan hal yang mudah bagi Ahmad Umar, sebab sebelum mengijinkan berangkat sang ayah memberikan tiga syarat yang harus ia penuhi : pertama, tidak boleh pulang ke rumah sebelum tiga tahun mondok. Kedua tidak boleh mengharapkan uang kiriman dari orang tua. Dan ketiga, harus berkhidmat kepada pimpinan pesantren dan keluarga mereka.
Pupuk Kandang.
Ia berhasil. Tiga tahun (1931 – 1934) nyantri di Tremas Umar yang baru menginjak usia 15 tahun berhasil menghafal Al-Quran. Selepas dari Tremas, langkah pengembaraannya membawa Ahmad Umar ke Pesantren Krapyak Yogyakarta, yang kelak dikenal dengan nama Pesantren Al-Munawwir, sebuah pesantren tahfizhul Quran yang tengah naik daun karena kharisma pengasuhnya, K.H. R. Moenawwir, yang dikenal sebagai ulama ahlul Quran lulusan Al-Haramain.
Di Krapyak, Umar yang sudah hafal Al-Quran harus mengulang pengajiannya dari awal lagi. Tak tanggung-tanggung, untuk menyelesaikan pembacaan surah Al-Fatihah dengan baik dan benar menurut standar Mbah Moenawwir saja, ia harus mengaji selama tiga bulan. Sulit memang, namun di situlah kuncinya. Begitu lewat dari surah Al-Fatihah, pengajian surah-surah berikutnya mengalir dengan lancar.
Dua tahun kemudian (1936), Ahmad Umar, yang sehari-hari ditugaskan belanja kebutuhan dapur keluarga kiai, berhasil menyelesaikan pengajian tahfizhul Quran dan qiraat sab’ah serta mendapat ijazah sanad silsilah dan ijin mengajarkan Al-Quran.
Belum puas mereguk kenikmatan belajar, tahun 1936 Kiai Umar muda mengembara lagi Jawa Timur. Kali itu ia nyantri di Pesantren Mojosari, Nganjuk. yang diasuh oleh seorang ulama yang termasyhur sebagai waliyullah, yaitu K.H. Zaenuddin.
Berbekal ilmu dari berbagai pesantren, tahun 1937 Kiai Umar mulai menggelar pengajian Al-Quran untuk keluarganya. Karena banyak yang tertarik perlahan pengajian itu melebar ke tetangga kiri kanan dan akhirnya kemana-mana.
Melihat aktivitas putranya, Abdul Manan kemudian mempersilahkan Umar untuk memanfaatkan tanah perkebunan kelapa seluas 3500 meter persegi yang sebelumnya telah dijariyahkan oleh K.H. Ahmad Shofawi, ulama konglomerat kota Solo yang merupakan sahabat Abdul Mannan saat nyantri dulu.
Di kebun itu lalu dibangun rumah dari bilik bambu dan sebuah mushalla sebagai tempat pengajian. Santri-santri angkatan pertama adalah keluarga, tetangga dan para buruh perusahaan batik milik K.H. Ahmad Shofawi. Dari pengajian di tengah kebun yang terletak di kampung Mangkuyudan itulah sejarah Pesantren Al-Muayyad bermula. Tak ada yang menduga bilik bambu itu kelak akan menjadi pesantren megah berlantai empat seperti saat ini.
Meski pengajiannya cukup diminati, bukan berarti perjalanan dakwah Kiai Umar berlangsung mulus. Kampung Mangkuyudan, sebelumnya dikenal sebagai kampung abangan. Bahkan sebagian warganya adalah pengikut partai komunis. Mereka itulah yang kerap menggangu pesantren yang baru berdiri itu.
Saat asrama putra dibangun, misalnya, tak jarang para sntri menemukan kotoran hewan dan manusia bertebaran di lantai pesantren. Saat mengetahui bahwa yang melakukannya adalah para tetangga komunis mereka, para santri pun menyusun rencana pembalasan. Namun entah mendengar dari mana, tiba-tiba mereka semua dipanggil sang guru dan dinasehati agar tidak membalas dendam.
“Bukankah kotoran itu adalah pupuk yang mujarrab? Mudah-mudahan pesantren ini akan berkembang pesat dan subur karena saat tumbuh banyak diberi pupuk kandang,” kata Mbah Umar lembut.
Banyak keteladanan yang ditinggalkan Kiai Umar untuk santr-santrinya. Dalam Manaqib Kiai Umar yang disusun oleh K.H. A. Baidhowi Syamsuri, pengasuh Pesantren Brabo yang juga santri dan menantu keponakan sang kiai, banyak dikisahkan keutamaan akhlak Kiai Umar.
Wali Autad.
Mbah Umar sejak muda dikenal sangat rendah hati dan bersahaja. Terhadap orang kecil, semisal tukang becak, ia tak segan-segan menyapa terlebih dulu. Para tukang becak yang mangkal di sekitar pesantre juga mengaku senang melayani Kiai Umar, karena sang kiai selalu memberi uang lebih banyak dari ongkos yang seharusnya dibayar. Mereka terkesan karena setiap membayar ongkos Kiai Umar tidak pernah lupa menyatakan terimakasih dan mendoakan mereka agar laris dan tambah giat ibadahnya.
Demikian tingginya perhatian Kiai Umar terhadap fakir miskin. Ketika hari raya kurban, misalnya. Bila jatah daging kurban yang dibagikan telah habis padahal yang belum kebagian masih banyak, ia tak segan membeli sendiri daging kambing ke pasar dan membagikan kepada yang belum kebagian.
Meski sudah dikenal sebagai ulama besar, namun kiai Umar tidak segan-segan mendatangi para kiai sepuh untuk menanyakan hal-hal yang meragukan. Bahkan tak jarang ia menanyakan suatu hal kepada santri yang dianggap lebih memamahami persoalan tersebut.
Terhadap para santri yang nakal Kiai Umar juga mempunyai sikap yang istimewa. Pernah suatu ketika Mbah Umar minta pengurus mendaftar santri yang nakal. Tak pelak para pengurus yang sebelumnya sudah geram dengan tingkah polah santri-santri nakal itu bersorak gembira. Mereka membayangkan para santri akan segera dikeluarkan dari pesantren.
Namun ternyata yang terjadi berikutnya tak seperti yang mereka harapkan. Di depan pengurus Kiai Umar justru mendoakan santri-santri tersebut agar kelak menjadi ulama yang shalih. Secara tak langsung Kiai Umar juga ingin menasihati para pengurus, agar jika kelak menjadi kiai mereka pun harus bersikap bijak terhadap santri dan tak mudah menjatuhkan vonis yang memberatkan.
Karena keluhuran budi, ketekunan beribadah dan kedalaman ilmu itu pulalah banyak ulama sepuh dan ahli thariqah yang meyakini Kiai Umar adalah salah satu waliyullah. Bahkan K.H. Ma’shum Lasem, dan K.H. Mubasyir Mundzir, Bandar Kidul, Kediri, dua ulama sepuh yang termasyhur sebagi kekasih Allah, pernah menyatakan bahwa Kiai Umar yang seumur hidupnya selalu menjaga wudhu dan shalat berjamaah itu adalah salah seorang anggota wali autad, yakni tingkatan yang setiap masa anggotanya hanya empat orang.
Ada juga ulama besar tokoh thariqah yang menyebut Kiai Umar sebagai salah seorang anggota wali abdal, tingkatan wali yang setiap masa anggotanya hanya tujuh orang. Ini diperkuat oleh cerita tentang karamah-karamah Kiai Umar yang pernah disaksikan oleh para santri, keluarga dan kiai-kiai lain.
K.H. Ahmad Umar wafat pada tanggal 11 Ramadhan 1400 H/24 Juni 1980 M, meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyyah Umar. Atas permintaan dua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi, jenazah sang allamah dimakamkan di belakang masjid Al Muayyad, di tengah kompleks pesantren yang didirikannya.
Dua bulan sebelumnya, kedua orang yang dekat dengan Kiai Umar itu sempat berbincang bahwa biasanya pesantren akan pudar sinarnya bila kiainya wafat tanpa meninggalkan anak. Untuk “mengatasi” hal itu berdasarkan petunjuk para kiai sepuh, hendaknya jasad Kiai Umar dimakamkan di kompleks pesantren. Diibaratkan, liang lahat sang kiai akan menjadi “bintang” yang tetap memancarkan cahayanya hingga tidak memudarkan pesantren yang ditinggalkannya.
*pernah dimuat di Majalah Alkisah
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik